Oleh: La Ode Zulmin

 

Kenang-kenangan bak kunang-kunang dalam kening. Mengingatkanku pada rumah yang raib di tangan ekskavator, hingga menewaskan ayah dan ibu karena melawan. Begitu pula pohon cengkeh yang kokoh dan menjulang tinggi bersama rimbun daunnya di depan rumah, sudah berkalang tanah.

Setelah beberapa tahun kusembunyikan, kini bakal kueritakan peristiwa nahas itu kepada Juang, saat bertandang ke pantai dan menyaksikan lambaian senja. Karena memendam sendirian rupanya duka semakin menggerogoti. Toh, Juang, juga bukan orang lain. Sejauh ini, ia kekasih yang paling mengerti. Namun, perihal penggusuran rumah kami dahulu, ini kali pertama aku buka mulut kepadanya.

***

Di muka rumah, tempat tinggal kami di Kalimati, ayah menanam pohon cengkeh. Usiannya sudah puluhan tahun. Begitu aku lahir dan tumbuh menjadi bocah perempuan cantik, pohon cengkeh menemani keseharianku. Seolah kami menjadi sahabat. Aromanya akrab betul dengan indra penciumanku.

Saban hari, ketika pulang sekolah, aku kerap bermain dan memanjat pohon. Bila pohon cengkeh berbunga, aku mesti siapkan tali pengait agar ranting cengkeh yang sulit dijangkau dapat kuraih. Lalu, diisi ke dalam karung. Kupelajari cara petik cengkeh layaknya petani profesional. Bila waktu senggang, aku turun dan bermain di ayunan buatan ayah yang menggantung di dahan pohon cengkeh.

Saat pagi tiba, burung-burung kerap bertengger di rating sebari bersiul. Embusan angin pelan merontokkan daun tua ke tanah. Di bawah pohon cengkeh, ibu kerap duduk di atas para-para membuat sagu dan papeda. Daun pohon cengkeh cukup rimbun sehingga terik mentari tak benar-benar menembus kulit ibu. Bikin sejuk. Bikin tentram. Sambil bermain ayunan, ibu memantauku. Khawatir anak semata wayangnya terjungkal.

Pohon cengkeh itu sudah kuanggap sebagai rumah kedua. Separuh waktu kuhabiskan bersama pohon itu. Sedangkan rumah pertama kami tepat berhadapan dengan pohon cengkeh. Rumah yang tersusun dari papan itu pun sangat akrab denganku, banyak menoreh kisah.

Kendati sederhana, rumah sudah menyatu denganku. Ibu dan ayah telah menanamkan pelajaran berharga, bahwa segala yang kita miliki, termasuk rumah merupakan hadiah dari Tuhan. Harus dirawat. Disyukuri. Dipertahankan jika ada yang ingin merampas, meski nyawa adalah taruhannya.

“Jika itu bukan hak kita, maka lepaskan dan ikhlaskan, Halma. Tapi, rumah dan pohon cengkeh itu merupakan hak yang harus dipertahankan. Diperjuangkan. Betapapun raja yang merampasnya jangan pernah mundur,” tandas ibu sembari membelai rambut panjangku dahulu.

Tak hanya ibu, ayah juga kerap meniupkan roh perlawanan. Dan itu kupegang teguh dalam tindakan. “Kelak, jangan pernah surut untuk melawan dan memperjuangkan hakmu. Kau harus seperti banteng. Bila nanti kalah telak, setidaknya kau sudah berjuang,” tukas ayah. Hanya saja, ayah meneruskan kalimatnya yang belum rampung itu, “Hukum kerap berpihak pada uang, Halma. Sedangkan kita bermodal berani. Tak mengapa. Itu sungguh mulia.”

Wejangan ayah kuterapkan dalam keseharianku. Pernah suatu ketika aku bertengkar hebat dengan teman lelaki di sekolah. Namanya Abri. Ia merampas buku dan pena milikku. Akan tetapi, saat aku mengadu kepada guru, justru Arbi yang mendapat pembelaan dan menyalahkan diriku. Pak Mus, kepala sekolah, menyuruhku agar minta maaf, lalu menyodorkan uang lima ribu rupiah untukku. Sembari menyembunyikan perasaan kesal, kutolak pemberian Pak Mus, yang tak lain ayah dari Abri.

Bukannya mengalah, aku justru terus ngotot pada Abri usai menghadap di kantor sekolah. Ia mengira aku bakal patuh dan turut karena aku seorang perempuan. Dengan segunung keberanian aku hadapi Arbi, si anak kepala sekolah itu.

Beruntung, Pak Rikar berpihak padaku. Guru yang aku kagumi kepintarannya itu benar-benar tahu mana yang mesti dibela dan mendapat keadilan. Dan, aku berhasil mengambil hakku; pena dan buku milikku dikembalikan Arbi secara terpaksa.

Dari didikan orangtua, cukup mempengaruhiku dalam bertindak. Mereka tak pernah marah meski aku buat kesalahan. Tindakanlah yang mereka tunjukan agar dapat kutiru. Sebab, dengan cara seperti itu aku dapat meresapi pembelajaran dari mereka.

Misalnya, menyapu halaman rumah yang penuh dengan tumpukan daun cengkeh. Suatu pagi, ibu sedang sibuk menanak nasi di dapur. Sedangkan ayah berangkat kerja. Di rumah hanya aku dan ibu. Lantara sedang sibuk di dapur, ibu lalu menyuruhku bersihkan pelataran rumah.

Tapi, aku malah merasa dongkol di dalam kamar. Namaku berulang kali dipanggil, tapi tak ada jawaban dariku. Ibu nyaris kehabisan stok kesabaran menghampiriku di dalam kamar. “Nak, bantuin bersihkan halam rumah. Ibu masih sibuk menyiapkan sarapan pagi untukmu,” pinta ibu bagai angin lalu. “Nak, daun pohon cengkeh harus dibersihkan. Jangan biarkan berserakan. Nanti pohon cengkehnya marah, loh, kalau tidak dibersihin,” kata ibu sambil lalu.

Aku yang masih dongkol, diam-diam bangkit dan menuju muka rumah. Mengambil sapu lidi dan membersihkan halaman rumah. Sejak saat itu, saban hari, aku bersihkan sampah dan merawat rumah.

Syahdan, kudengar dari ibu, ada lima rumah yang bakal digusur menurut keputusan pengadilan negeri. Itu sudah termasuk rumah kami. Aku merasa sedih dan prihatin, karena tak lama lagi pohon cengkeh dan rumah kami bakal digusur. Di mana lagi kami akan tinggal. Dan pohon cengkeh mana lagi yang bakal menemaniku bermain?

Tapi, ayah dan ibu selalu menguatkan dan berusaha menenangkan. “‘Jangan bersedih meski tak lama lagi rumah dan pohon cengkeh bakal dimusnahkan. Kita hanya masyarakat biasa. Meski melawan, mereka yang dimenangkan.’ Nanti kita bakal cari kontrakan atau indekos,” kata ayah mengelak agar aku sedikit tenang.

Namun, belakangan tidurku tak pernah nyenyak. Aku selalu gusar memikirkan nasib kami ke depan; tentang rumah penuh sejuta cerita akan menjadi puing-puing dan meremukkan segalanya.

Dalam mimpiku. Ah, sebenarnya aku tidak percaya kebenaran mimpi. Tapi mimpi ini sungguh seperti badai menerjang. Mengempas ke lumbung nestapa dan tampak nyata.

Di usiaku yang ke sepuluh tahun, kali pertama mimpi mengusikku. Dan, aku sepertinya mulai percaya. Dalam mimpi itu, kami seperti berada dalam dunia yang sama sekali asing. Hidup di antara manusia-manusia brengsek dan jahat. Jumlahnya berlipat ganda. Mereka menjadi musuh ayah dan ibu, sekaligus diriku. Apakah itu dunia yang bakal kuhadapi nanti?

Subuh itu, peluh memenuhi tumbuh saat aku melompat sadar dari mimpi buruk.

***

PUKUL delapan pagi, huru-hara di luar rumah terdengar dari dalam kamar. Mimpi buruk semalam berbuah keributan di depan rumah. Aku menarik badan, mengintip dari balik jendela. Kulihat satu ekskavator merah bersiap mengayunkan tangannya.

Tepat di depan ekskavator itu ada puluhan polisi bak singa; berhadapan dengan sekelompok orang. Aku menduga, mereka orang-orang yang kerap kutemui di jalan dengan menenteng senjata megafon dan spanduk ‘protes’. Tubuhku gemetar ketakutan bercampur amarah.

Tapi, aku hanya memeluk lutut di pojok kamar sambil menangis. Tak lama, kulihat ayah dengan sehelai sarung berdiri tegap di muka pintu. Setelah melongok, menyaksikan situasi di luar rumah, ayah lalu membopong dan membawaku ke rumah nenek di seberang sungai. Dan, aku tak tahu apa yang terjadi di rumah kami dahulu.

“Lantas, kau tak tahu kelanjutan ceritanya, Halma?” tanyamu penasaran saat kita sedang duduk dan menikmati dua gelas air guraka di pantai.

“Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Pertanyaan itu menyiksaku. Aku khawatir. Seharian kepalaku seperi tertancap ribuan paku. Aku baru tahu ceritanya setelah berusia 18 tahun, Juang. Itu pun berasal dari cerita Awan Sangkala, salah satu dari sekelompok orang yang membawa spanduk ketika penggusuran terjadi di rumah. Dia yang menyaksikan kejadian itu.”

Dari raut wajahmu tampak ingin tahu kelanjutan ceritaku. Kau dengan khidmat memasang telinga saat aku mulai bercerita.

***

Usai membawaku ke rumah nenek, beberapa menit kemudian, ayah bergegas menemui ibu yang menolak hengkang dari rumah.

Ayah belum sampai di rumah ketika seseorang berteriak lantang ke dalam rumah saat ibu berada di dapur. Amarah ibu bak api dalam tungku yang mendidihkan air ketika mendengar teriakan tersebut.

“Hei, siapa di dalam rumah. Cepat keluar! Kau ingin mati terkubur?” teriakan itu menghujam ibu.

Satu rumah tetangga mulai dieksekusi. Genteng-genteng berguguran bak dedaunan tua. Rangka rumah mulai diremukkan. Dinding-dinding satu persatu dirobohkan. Pecah tangis tetangga melihat kejadian itu. Tak banyak yang bisa diperbuat, air yang mengucur di kolam mata tak bisa mengembalikan reruntuhan rumah.

Meski terjadi bentrok antara polisi dan sekumpulan orang yang membawa spanduk protes, tapi tak membuahkan hasil. Tangan ekskavator terus menggaruk-garuk rumah tetangga. Mendengar gemuruh reruntuhan rumah tetangga, ibu tetap tenang di dapur. Dan terus membuat papeda.

Tak berselang lama, ayah pun datang menyusul ibu di dapur. Mereka layaknya sepasang kekasih yang melawan. Namun, saat mendengar pohon cengkeh mulai diusik, ayah langsung keluar ke muka rumah.

“Siapa kau yang berani mengusik pohon cengkeh kami. Itu anak keduaku,” teriak ayah kepada sang operator ekskavator dengan tatapan tajam. Namun, sang operator acuh, dan terus beroperasi.

Ayah berlari dan melompat ke atas ekskavator dan hendak menentang sang operator. Suasana semakin rusuh. Sekelompok orang dengan spanduk protes kembali bentrok dengan polisi. Tembakan peluru karet mencari sasaran. Semburan watter cannon membelah kerumunan massa. Muntahan watter cannon, ternyata tak cukup. Gas air mata berulang kali melayang hingga membubarkan kerumunan massa.

Melihat ayah menonjok kaca ekskavator, dua orang preman datang menarik ayah hingga terpental ke tanah. Ayah lalu digebuk habis-habisan. Namun, bukanya menyerah ayah justru berdiri lantang. Menghadang ekskavator.

Suasana riuh berhenti karena sekelompok orang lari tunggang langgang menghindari serbuan polisi. Sedangkan ayah terus melawan dan melempari ekskavator. Ayah mulai berhenti menyerang ketika jari tangan ekskavator menebus kepalanya. Darah mengucur bak air terjun. Ayah masih berjalan sempoyongan, seperti seekor ayam yang habis dipotong. Namun, tak lama ia ditemukan tewas di bawah pohon cengkeh. Tapi entah ke mana, secepat kilat jenazah ayah hilang. Tak tahu diseret ke mana.

Tangah ekskavator sekonyong-konyong menyentuh rumah. Sementara di dapur masih ada ibu yang tak mau hengkang. Atap mulai hancur lebur. Meratakan dinding papan. Tapi ibu masih duduk tenang, seolah ia menunjukkan perlawanannya. Sebab bagi ibu, perlawanan tak hanya sekadar fisik, dengan prinsip pun sudah cukup.

Beberapa menit penggusuran, satu rangka kayu rumah menghujam tubuh ibu. Anehnya, ibu meninggal tak bersuara. Aparat dan massa, tak berani masuk membantu ibu.

Saat itu, hari mulai gelap. Gerimis tumpah menyapu debu-debu reruntuhan rumah. Orang-orang tak lagi melawan, dan pulang, kecuali Awan Sangkala, yang masih mengintip dari balik tembok ruko.

Ia melihat pohon cengkeh sahabatku, tumpas dengan gergaji mesin. Lima buah rumah berkalang tanah. Ada ibu di sana. Tapi, tak cukup hitungan jam jenazah ibu pun hilang. Semua yang kupunya raib. Ibu, ayah, pohon cengkeh menjadi nestapa panjang bagiku.

Sejam setelah insiden, keluargaku datang ke reruntuhan rumah mencari ibu. Diam-diam, Awan Sangkala mengekor ke dalam rumah. Namun, mereka tak menemukan apa-apa, kecuali bercak-bercak darah di sana. Meski sudah membuat laporan di kantor polisi, hingga setahun berlalu, jenazah ayah dan ibu tak ditemukan. Aneh, betul. Atau mungkin terjadi kongkalikong antara pengusaha dan penegak hukum. Entahlah. Namun, aku masih menaruh curiga seperti itu. Setelah aku cukup dewasa dan mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum, aku bolak-balik mencari keadilan. Tapi, tak pernah mendapat jawaban.

“Sampai sekarang kau belum tahu di mana ibu dan ayahmu dikebumikan?” tanyamu saat aku hendak menutup cerita. Kau lalu berniat untuk menemaniku mencari ayah dan ibuku dikubur.

Aku tersedu-sedu di atas pundakmu, kembali mengenang rumah, pohon cengkeh, serta ibu dan ayah yang tewas, bahkan hingga kini tak tahu di mana dikebumikan. Dan orang-orang asing itu benar-benar memporak-poranda kebahagiaanku. Merampas semua yang kupunya. Beritahu aku, seperti apakah keadilan itu?

Perpus Independensia, Minggu, 19 Januari 2025.