Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato (AMBPW) kembali mendesak Pemerintah Halmahera Timur untuk membuat rekomendasi pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT Priven Lestari kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Langkah itu disebut sebagai upaya melindungi Pegunungan Wato-Wato dari ancaman aktivitas tambang nikel PT Priven Lestari yang mengkapling ruang hidup warga Buli.
Said Marsaoly, Juru Bicara AMBPW, mengatakan bahwa PT Priven Lestari saat ini terus melakukan bujuk rayu agar pemilik lahan menjual tanah kepada perusahaan. Lahan milik warga tersebut sebenarnya berada di dalam kawasan areal penggunaan lain (APL), yang berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010-2029 serta rekomendasi penyesuaian tata ruang, tidak diperkenankan adanya aktivitas pertambangan.
“Penambangan di atas lahan APL itu akan berdampak buruk pada perkembangan kawasan permukiman Buli, dan berdasarkan pemanfaatan dan peruntukan ruang dalam RTRW, tidak boleh ada kegiatan tambang,” jelas Said, dalam siaran pers yang diterima redaksi Tuturfakta, Ahad, 9 Februari 2025.
Desakan ini sebetulnya sudah dilakukan berulang-ulang kali oleh warga Buli yang peduli keberlangsungan alam di pegunungan Wato-Wato. Warga berjuang mempertahankan eksistensi pegunungan ini sudah lebih dari 10 tahun dari ancaman eksploitasi PT Priven Lestari.
Pertengahan Januari lalu, kata Said, AMBPW telah mendatangi kantor DPRD Haltim, menggelar audiens. Pertemuan itu dihadiri Ketua DPRD Haltim, Kepala Bagian Hukum, Kepala Lingkungan Hidup, serta Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Haltim.

Ia bilang, dalam pertemuan itu, mereka menegaskan menolak aktivitas PT Priven Lestari di atas Pegunungan Wato-Wato, juga meminta pemerintah Halmahera Timur menindaklanjuti aspirasi warga kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) guna meninjau ulang dan mencabut izin operasional PT Priven Lestari. Perusahaan tambang nikel ini memperoleh konsesi tambang, yang mencakup kawasan pegunungan Wato-Wato sebagai benteng terakhir orang Buli.
AMBPW juga meminta Bupati Haltim agar memberikan arahan kepada pemerintah tingkat kecamatan untuk sampaikan kepada pemerintah desa dan masyarakat agar tidak melakukan proses jual-beli lahan pada kawasan APL kepada PT Priven Lestari.
Berdasarkan hasil overley, konsesi tambang nikel PT Priven Lestari telah mencaplok 547,7 hektar kawasan APL dan 2.672 hektar adalah kawasan hutan lindung. Dengan demikian, kata Said, Bupati Haltim mesti menugaskan dinas terkait melakukan sosialisasi peraturan daerah (Perda) RTRW di Buli.
AMBPW meminta DPRD Haltim memfasilitasi pertemuan antara warga Buli dengan DPRD Provinsi Maluku Utara, Dinas ESDM, Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Malut, guna membahas permasalahan ini secara menyeluruh. Sebab, pada beberapa kawasan hutan yang berada di punggung gunung Wato-Wato, sudah diperuntukan bagi perhutanan sosial dalam skema hutan desa, termasuk telah ada keputusan dari KLHK pada 2021 dan 2022 yang mengesahkan status hutan desa tersebut.
“Itu bisa dijadikan sebagai dasar pengusulan pencabutan IUP PT Priven Lestari,” tambah Said.

Selain itu juga, menurut Said, wilayah Buli saat ini sudah menjadi korban dari sederet operasi tambang nikel, mulai dari perusahaan plat merah, PT Aneka Tambang hingga korporasi nikel swasta. Dari trauma itu, kami kemudian bertekad melindungi ruang hidup tersisah ini.
“Dari pengalaman yang kami saksikan, perusahaan sebesar Antam yang konon katanya telah mendapat sertifikasi ISO dalam manajemen lingkungan pun tetap saja kewalahan menangani pencemaran di Teluk Moronopo. Lalu bagaimana dengan PT Priven Lestari yang kantornya perwakilannya saja tidak jelas,” terang Said.
Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara menambahkan bahwa Pegunungan Wato-Wato yang berada di belakang permukiman warga Buli tersebut sesungguhnya punya hubungan erat dengan nafas hidup orang Buli. Sebab, bentang alam dipenuhi sumber alam, diantaranya sungai-sungai yang dipakai warga sebagai kebutuhan hidup.
“Sungai yang membentang [di pegunungan Wato-Wato], memiliki peran vital dalam melayani kebutuhan air bersih warga setiap hari. Karena itu, warga pasti marah jika sumber air bersih sebagai sumber penghidupan mereka akan lenyapkan oleh operasi tambang. Namun ironisnya, Pemerintah Haltim tidak melihat tambang itu sebagai ancaman serius dalam keberlangsungan warga,” jelas Julfikar.
Julfikar berkata bahwa jika pemerintah Haltim memandang Wato-wato sebagai sumber penghidupan yang penting untuk dilindungi maka sewajibnya mengambil langkah yang lebih tegas. Seperti berani mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin tambang terhadap PT Priven Lestari dengan melayangkan surat resmi ke kementerian ESDM.
“Jika itu dilakukan maka Pemerintah Haltim bekerja untuk rakyat, bukan melayani korporasi tambang, pun sebaliknya,” ujar Julfikar.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.