Sambil membungkuk, Nenek Ima membersihkan gulma dan rumput liar di lahan seluas 9×8 meter. Perempuan berusia 68 tahun itu mendongak, kaget ketika saya menghampirinya tepat di atas timbunan reklamasi Pantai Kalumata, Ternate Selatan, Kota Ternate, pada Rabu, jelang matahari terbenam, 5 Febaruari 2025 lalu.

Hari itu, langit tampak mendung, Nenek Ima mengenakan daster bermotif bunga, topi caping kerucut, dan memegang sebilah parang tumpul. Kulitnya mulai keriput. Melihat saya yang berdiri tak jauh dari tempatnya, ia langsung menegakkan badan, menghampiri saya, dan berjalan pelan-pelan ke rumah kebun, tempat istirahat sementara.

“Rumah saya tidak jauh dari sini,” kata Nenek Ima, membuka cerita kepada saya, sambil diiringi musik togal khas Maluku Utara dari rumah kebun tetangganya, “Karena itu, setiap hari saya ke kebun.”

Lahan garapan di atas timbunan reklamasi itu dia garap sejak tiga bulan lalu, pada November 2024. Di lahan itu, ia tanami sayur-sayuran seperti sawi, selada, bayam, hingga kemangi. Sejauh ini, Ima sudah empat kali memanen hasil tanaman tersebut.

“Panen pertama, hingga Rp400 ribu. Panen kedua Rp200 ribu, dan panen ke tiga hanya Rp80 ribu,” ucapnya sambil memamah sepotong sirih.

Lahan garapan Nenek Ima sering digenangi air ketika hujan, sebab, area reklamasi yang datar. Beberapa kali, hasil tanamannya gagal panen. “Kalau tidak hujan pasti tanaman akan baik-baik saja. Tapi kalau hujan terendam air,” ujarnya.

Nenek Ima tidak sendiri menggarap lahan di area proyek reklamasi di Pantai Kalumata tersebut. Ada beberapa warga lain juga ikut memanfaatkan lahan yang belum dibangun fasilitas oleh Pemerintah Kota Ternate tersebut. Rencananya, wilayah itu akan dibangun pusat perekonomian baru berupa fasilitas modern, seperti pendidikan dan pusat layanan kesehatan yang mudah diakses.

Sayangnya, proyek multiyears  yang sudah dikerjakan sejak Mei 2018 lalu itu belum dikerjakan lagi. Ia tampaknya mangkrak. Daripada proyek seluas 4 hektare dengan anggaran mencapai Rp 40 miliar itu dipenuhi rumput dan ilalang, Nenek Ima dan warga setempat, memanfaatkan dengan menanam tanaman bulanan.

Lahan garapan warga yang memanfaatkan kawasan reklamasi Pantai Kalumata, Ternate Selatan. Foto: La Ode Zulmin/Tuturfakta.com

***

“Ini cucu saya,” kata Nenek Ima, memperkenalkan seorang bocah yang datang menyuguhkan sepiring gorengan amo [sukun], “Namanya Safira. Ada kembarannya bernama Safara. Mereka berdua masih duduk di bangku kelas 2 SMP [sekolah menegah pertama].”

Tak hanya Safira dan Safara, Nenek Ima juga ditemani dua cucu lain, Aprilia dan Humaira. Aprilia duduk di bangku sekolah menegah atas, sedang Humaira, masih di bangku sekolah dasar.

“Sebetulnya ada lima bersaudara. Tapi bungsu bersama orangtua mereka di Bacan. Sedangkan empat cucu saya ini tinggal di sini bersama saya. Orang tua mereka bernama Santi dan Suleman. Itu anak dan menantu saya,” kata Ima.

Santi dan suaminya hidup di Bacan, sementara anak-anak mereka titipkan kepada Ima. Raut wajahnya tampak sedih ketika bercerita bagaimana merawat dan menafkahi keempat cucunya. Apalagi keempatnya semua perempuan dan sedang bersekolah.

“Empat cucu yang tinggal bersama saya ini masih sekolah. Saya bekerja untuk mereka semua. Uang jajan pun setiap anak saya kasih Rp15 ribu dan kadang sampai Rp20 per hari. Kalau tidak ada uang saya sedih,” ungkapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ia bersyukur masih terus berkebun di timbunan reklamasi pantai Kalumata meski tidak secara langsung minta izin di pemerintah.

Sejumlah warga yang tengah menggarap lahan di atas timbunan reklamasi Pantai Kalumata, Ternate Selatan. Foto: La Ode Zulmin/Tuturfakta.com

Pemerintah Kota Ternate mulai mengerjakan proyek reklamasi multiyears di pantai Kalumata, meski terjadi pro dan kontra dengan proyek ini. Proyek ini ditaksir menelan anggaran puluhan miliar, tapi terbengkalai.

Saat saya berada di lokasi, tidak ada bangunan apapun yang berdiri. Rumput liar dan pohon-pohon kecil tumbuh terhampar di lahan seluas empat hektare lebih itu. Sedangkan pada bagian tambatan perahu nelayan berserakan sampai plastik.

Di area reklamasi ini, juga dibuat lapangan sepak bola oleh anak-anak setempat, termasuk dijadikan lahan garapan. Setiap warga yang punya petak lahan, pasti punya rumah kebunnya. Selain itu, ada pipa air dan sejumlah drum bekas untuk penampungan air hujan.

“Ini kan tanah pemerintah. Kebetulan tong [kami] orang sini, dan timbunan belum digunakan, tong manfaatkan untuk berkebun. Kalau tara [tidak] batanam [bertanam] tra dapat doi [uang],” ujar Ima.

Meski begitu, Ima juga sadar suatu saat pemerintah pasti datang gusur kebun sementara tersebut. Dan jika itu terjadi, Ima bakal kembali menganggur.

“Dulu saya datang dari Bacan ke sini karena kerusuhan 1999. Di sini saya kerja dorong gerobak yang isinya BBM. Setelah itu, saya so [sudah] tidak bekerja. Dan karena dan timbunan ini, saya manfaatkan untuk berkebun.”

“Suatu saat pemerintah datang gusur, saya tidak akan bekerja lagi,” katanya dengan nada pasrah.

Suryati (50), salah satu warga setempat, juga khawatir, akan datang ancaman penggusuran lahan garapan mereka. Ia sadar, itu tanah milik pemerintah, “Kita manfaatkan lahan ini untuk sementara. Pasti dong [pemerintah] gusur kalau sudah mulai pembangunan,” katanya.

“Satu kali panen kadang Rp1.500.000. Saya sangat bersyukur,” kata Suryati.

Suryati, Ima, dan warga setempat yang menggarap lahan untuk menanam tanaman di area reklamasi berharap, kelak, jika penggusuran dilakukan, mereka bisa mendapatkan tempat berjualan di kawasan pembangunan itu.