KEHIDUPAN berjalan sepanjang hari di pantai berpasir tepat di Kelurahan Sasa, Ternate Selatan, Kota Ternate, yang juga tempat perahu-perahu nelayan ditambatkan.
Selain ajang berburu dan memancing ikan dan anak-anak batobo (berenang) selepas menyepak bola, ada makhluk hidup lain yang mengitari pantai ini; burung walet (Famili apodidae) beterbangan di atas kepala, sedang elang bondol (Haliastur indus) melayang menanti mangsa dari udara.
Di dekat puskesmas yang atapnya mulai bolong, dua ekor burung kipasan kebun (Rhipidura leucophrys)–yang oleh orang Maluku disebut baikole–terlihat tidak pernah tenang. Ia melengking, aduh suara dari balik capilong dan ranting pohon mangga yang tumbuh di samping rumah.
Seakan tidak mau kalah, cerek kernyut (Pluvialis fulva) dan trinil ekor-kelabu (Tringa brevipesis)–dua burung pantai spesies migrasi, mencicit dari arah laut di atas tumpukan batu yang layaknya benteng pelindung pesisir.

Sebagai jalur perlintasan, sejumlah pulau di Maluku Utara termasuk Ternate menjadi tempat persinggahan satwa bermigrasi, dan pantai Sasa menyediakan makanan yang cukup untuk mereka sikat sepanjang hari: krustasea kecil–binatang air, moluska hingga cacing laut melimpah di sini.
Berada di selatan kota, pantai Sasa bisa ditempuh sekitar 30 menit berkendara dari Bandara Sultan Babullah. Pantai berlumpur dengan campuran pasir berbatu ini didukung oleh vegetasi padang lamun dan karang.
Tidak jauh dari garis pantai, empat pohon mangrove juga tumbuh menghijau di tengah air. Tahun lalu, salah satu mangrove yang paling besar dan tinggi masih terlihat berdiri, kini sudah patah, mungkin lapuk dimakan usia. Pohon bakau tersisa ini juga dalam ancaman serius.

**
Keberadaan satwa yang datang hanya di musim tertentu ini hidup berdampingan dengan warga yang tinggal di pesisir. Sekalipun begitu, tidak banyak yang tahu akan burung migrasi ini, bahkan untuk mengindentifikasi ke dalam penyebutan lokal saja, warga bingung dan saling melempar tanya.
“Eh, ini burung apa sudah? Jawab Nawar begitu disodorkan foto burung migrasi dalam sebuah tongkrongan di bawah pohon ketapang dekat pantai.
“Coba Il ngana (kamu) lihat, ini burung apa?” Nawar ragu-ragu dan menyerahkan gambar itu kepada Il, pria berambut lurus dengan wajah murung. Ia kelihatan baru bangun tidur.
Merasa tidak ada jawaban, gambar berpindah tangan pada seorang laki-laki lebih dewasa, tampangnya kekar, pipinya ditumbuhi berewok tebal. Ia menjawabnya singkat: “Tau ni, burung apa e [tidak tahu burung apa ya].”

HUJAN baru saja reda ketika sejumlah anak muda yang bergabung dalam Malut Bird Walk keluar melakukan monitoring, pada Ahad, pekan ketiga, 16 Februari 2025 lalu.
Kegiatan yang diinisiatif Halmahera Widlife Photography (HWP), salah satu komunitas pelestarian satwa liar—anak asuh Yayasan Burung Indonesia—berhasil mengindentifikasi belasan margasatwa di pantai Sasa.
Beberapa di antaranya termasuk jenis shorebird atau burung pantai bermigrasi. Warna dan bentuk tubuhnya yang nyaris sama antara jenis satu dengan yang lain kadang membuat pengamat pemula seperti saya terkecoh. Beruntung ada buku panduan dan orang yang punya pengamalan turut serta.
Trinil pantai (Actitis hypoleucos) misalnya–hewan unik yang selalu mengerakkan ekor naik-turun ini akan tampak seperti trinil semak atau trinil ekor-kelabu. Namun ketiganya punya ukuran dan struktur tubuh yang berbeda. Begitu juga dengan jenis migran yang lain, masing-masing punya morfologi yang cukup mirip.
Pagi itu burung-burung tampak menjauhi garis pantai. Mereka hanya bisa dipantau lewat binokular atau teropong dari jarak ratusan meter di atas timbunan batu. Kadang terbang menghindari nelayan yang lewat, lalu hinggap di perahu yang terikat di pantai atau berjalan santai di jembatan yang sepi—mereka baru bisa terlihat dengan mata telanjang ketika air benar-benar surut.

Sambil menanti air laut surut, semua peserta Malut Bird Walk duduk melipat kaki di atas rumput taman yang hijau, ditanam sejak 5 tahun lalu dan dijaga dengan baik dari jarahan hewan peliharaan pemakan rumput yang sering melintas setiap hari.
Tepat pukul 9.53 WIT, hamparan pasir dan batuan kecil mulai terlihat, matahari bersinar cerah pagi itu. Dari sini, lima jenis migran bisa diidentifikasi dengan baik: gajahan kecil (Numenius minutus), trinil pantai, trinil ekor-kelabu dan cerek kernyut, semuanya datang dalam kelompok kecil.
Ahmad David Kurnia Putra dalam bukunya Burung-Burung Migran Maluku Utara (2023) mengatakan, keempat satwa pengembara di atas ada yang tampil di pantai atau dijumpai di sungai kecil dan sawah.
Gajahan kecil misalnya, terlihat di Pelabuhan Darko Sofifi. Burung perandai yang sangat langka di Eropa Barat ini akan berbiak di Siberia bagian timur–sebuah wilayah di Rusia yang terletak di sebelah timur Pegunungan Ural, dan menghabiskan musim dingin di Australia utara. Sementara trinil pantai sangat umum tampil di sungai kecil, pantai atau sawah—bermigrasi dari Afrika ke Australia dan akan berbiak di kawasan Paleatrik.
Dilansir dari Burung Indonesia, burung air bermigrasi yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari kelompok burung pantai yang mengembara sekadar mencari makan, setelah itu akan kembali ke daerah asal—mereka sangat bergantung pada vegetasi lahan basah.
Musim mengembara yang dilakukan secara periodik itu disebabkan oleh faktor cuaca. Ketika di belahan bumi utara, tempat asal mereka sedang musim panas, proses berkembang biak dilakukan dari Mei hingga bulan Juli.
Begitu musim dingin tiba, proses migrasi gencar dilakukan pada Agustus sampai September ke belahan bumi selatan yang lebih hangat—mereka mencari makan sebanyak-banyaknya sepanjang November hingga Maret dan akan kembali ke negara asal pada Maret sampai bulan Mei mendatang.
Ancaman Satwa Liar Bermigrasi ke Depan
Ketergantungan terhadap lahan basah terutama yang ada di daerah pesisir dikhawatirkan membuat satwa pengembara kesulitan, terlebih lagi adanya aktivitas manusia yang bisa menggangu kenyamanan mereka. Namun, menurut Benny Aladin Siregar, Koordinator Perhimpunan Burung Liar wilayah Maluku, selama mereka (satwa) itu tidak diburu, semua akan baik-baik saja.
Ancaman serius yang justru tidak terbilang adalah alih fungsi pesisir. Dengan alasan keterbatasan lahan, pemerintah Kota Ternate berencana menimbun pesisir selatan kota untuk aktivitas ekonomi baru. Rencana reklamasi di pesisir selatan kota dari Kelurahan Fitu hingga Kelurahan Jambula disebut tinggal menunggu kajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Dengan begitu, proyek ambisius ini selain makin memperparah degradasi habitat, pemerintah Kota Ternate juga tampaknya bakal mengabaikan konvensi ramsar–sebuah perjanjian internasioanl untuk pelestarian lahan basah secara berkelanjutan yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres No.48/1991. Sekarang kita kenal dengan Hari Lahan Basah SeDunia yang diperingati setiap 2 Februari.
Perlu dipahami, pelindungan terhadap lahan basah tidak sebatas pada “kawasan”, tapi semua unsur kehidupan di dalamnya patut dijamin keberadaan mereka agar tetap terjaga dan berkelanjutan.
**

Selain reklamasi, sampah juga menjadi ancaman serius. Terlebih lagi, pantai Sasa sering kali berlangganan sampah plastik kiriman dari penduduk yang tinggal di hulu aliran kali mati yang kalau terjadi hujan deras, beragam jenis sampah akan hanyut dan bermuara di pantai.
Pada musim bermigrasi, burung-burung pengembara pun ikut mencari makan di antara sampah yang berhamburan.
Kalau habitat pendukung kehidupan burung pantai sudah tercemar, barangkali premis yang sudah lama dibangun terkait kahadiran burung migrasi di suatu pantai bisa menjadi indikator pesisir itu masih baik, sepertinya akan gugur dengan sendirinya.[]

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.