Tiga anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) diperiksa sebagai saksi untuk menguatkan keterangan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis Tribun Ternate, Julfikram Suhadi, pada Sabtu, 8 Maret 2025. Organisasi pers mendorong agar para pelaku kekerasan segera ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat menggunakan undang-undang pers.

“[Diperiksa] Untuk menguatkan keterangan yang mengarah kepada para terduga pelaku. Kita memastikan nama terduga pelaku dulu agar tidak salah,” kata AKP Widya Bhakti Dira, Kasat Reskrim Polres Ternate, kepada jurnalis Tuturfakta, Sabtu, 8 Maret 2025.

Kasus kekerasan yang menimpa dua jurnalis di Ternate saat meliput aksi demonstrasi Indonesia Gelap di depan kantor Wali Kota Ternate, pada 24 Februari 2025 lalu masih terus berlanjut. Namun, baru satu kasus kekerasan jurnalis Halmaheraraya, Fitriyanti Safar, yang pelakunya telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara, kasus Julfikram dalam proses penyelidikan.

Organisasi pers menggelar aksi di halaman kantor Wali Kota Ternate, Maluku Utara, pada Selasa (25/2/2025). Protes itu sebagai solidaritas terhadap dua jurnalis yang dikriminalisasi anggota Satpol PP saat meliput aksi demo Indonesia Gelap 24 Februari 2025 di halaman kantor Wali Kota Ternate. Foto: Rifki Anwar/Halmaheranesia

Budhy Nugrianto, koordinator pengurus nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan polisi mestinya tidak membiarkan proses hukum kasus kekerasan terhadap jurnalis Julfikram berlarut-larut. Sebab sudah terdapat bukti-bukti berupa rekaman kamera pengawas atau CCTV dan keterangan saksi.

“Prinsipnya penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis itu mesti secara profesional dan secepatnya mungkin, supaya tidak menjadi preseden bahwa setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak selesai. Agar publik menilai polisi serius dalam kasus-kasus kekerasan siapapun korbannya,” ujar Budhy kepada reporter Tuturfakta, pada Ahad, 9 Maret 2025.

Menurut Budhy, selama polisi hanya memeriksa pelaku dan saksi ketika terjadi kekerasan terutama kepada jurnalis, padahal kekerasan tersebut terjadi bukan tanpa sebab, ada aktor yang memerintah sebagai pemegang struktural komando.

“Kadang luput dari pandangan kita bahwa kadangkala ada aktor yang memberikan perintah untuk melakukan kekerasan. Itu juga harus diperiksa,” terang wartawan senior ini.

Budhy mendesak agar penyidik juga menggunakan Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers dalam dua kasus kekerasan pada jurnalis Julfikram dan Fitriyanti. Dalam pasal 18 UU Pers, menyebut setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja kewartawanan dapat dipidana.

“Tidak hanya Pasal 351 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tapi UU Pers juga mesti diterapkan. Karena korban itu tidak dalam konteks duduk, tapi sedang menjalankan reportase lapangan dan mengalami kekerasan,” jelas Budhy.