Belum sampai satu bulan terakhir, kawanan babi hutan bermunculan di beberapa tempat dan pemukiman Kota Ternate, Maluku Utara. Satwa liar itu ditengarai mencari makan seperti di kali mati atau barangka lingkungan Universitas Khairun hingga kasus seekor babi menyerang dan melukai ibu dan anak di Kelurahan Rua, pada akhir Februari 2025.
Much. Hidayah Marasabessy, pengajar program studi Kehutanan di Fakultas Pertanian, Universitas Khairun (Unkhair) mengatakan, wilayah-wilayah yang dilalui babi hutan tersebut sebetulnya dahulu merupakan habitat satwa babi hutan. Misalnya di kawasan Universitas Khairun di Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan, merupakan daerah lintasan babi hutan.
“Karena itu, keberadaan babi hutan di pemukiman warga Ternate bukan suatu yang janggal. Mereka bakal terus melintas di daerah tersebut karena merupakan habitatnya,” kata Much. Hidayah kepada reporter Tuturfakta, pada Selasa, 11 Maret 2025.
Kemunculan-kemunculan satwa liar tersebut juga, kata Hidayah, bukan tanpa sebab. Biasanya, karena habitat mereka di hutan terganggu, atau sumber pakan berkurang, terjadinya perburuan, atau sebagai penanda potensi bencana yang sebelumnya terjadi telah dideteksi oleh satwa.
“Bahkan ketika tiba-tiba hujan belasan babi liar bakal turun ke pemukiman warga. Ini karena babi liar sumber pakan di hutan berkurang dan mereka akan mencari makan,” ujar pengajar sekaligus peneliti yang aktif di isu lingkungan itu.
Satwa seperti babi hutan tidak akan menyerang manusia jika eksistensi mereka tidak terancam, kata Much. Hidayah. Ia menyebut, kasus konflik satwa babi hutan dengan warga di Kelurahan Rua misalnya terjadi diduga karena merasa terancam hingga akhirnya menyerang warga.
Menurut Much. Hidayah, saat ini babi hutan di Kota Ternate menjadi puncak mata rantai makanan dan populasinya membludak. Hanya manusia yang bisa mengendalikannya. Namun, nyaris tak ada masyarakat di Kota Ternate yang berburu dan memakan babi sehingga populasinya bisa meningkat.
“Harus dikendalikan supaya populasinya tidak membludak,” terangnya.
Senada disampaikan Iwan U Tosofu, anggota Komunitas Pecinta Satwa Liar (KPSL) Akejiri. Selain pakan dan habitat babi hutan yang telah rusak, juga karena terjadi over populasi yang membuat babi hutan menjadi puncak predator di Kota Ternate saat ini.
Akibatnya, kata Iwan, babi hutan saling berebut pakan dan kawanan lainnya yang tersingkir mesti mencari pakan di daerah lain yang bisa memenuhi kebutuhan, termasuk sampai turun ke pemukiman warga.
Menurut Iwan, babi hutan merupakan satwa yang reproduksinya sangat tinggi. Dalam setahun, satwa liar benita bisa 3 kali melahirkan, satu kali melahirkan bisa sampai 10-14 anak. Hal itu yang menurutnya jadi penyebab perebutan ruang hidup dalam mencari pakan untuk bertahan hidup.
“Babi hutan akan agresif ketika merasa terancam seperti diburu. Apalagi yang diburu itu babi betina yang sedang merawat anak, pasti semakin agresif. Maka tidak segan untuk menyerang siapa pun yang ditemui,” jelas Iwan, yang juga menjadi anggota Ampera Birdlife, salah satu komunitas pencita satwa di Maluku Utara.
Much. Hidayah menyarankan agar pemerintah daerah membuat ekoturisme atau ekowisata perburuan merespon over populasi babi hutan di Kota Ternate. Menurutnya, para pemburu kuskus mata biru, ular, hingga biawak yang marak di Kota Ternate didorong dan dialihkan memburu babi hutan ketimbang memburu satwa endemik.
Hal ini, katanya, agar populasi babi hutan di Kota Ternate yang sering masuk ke pemukiman bisa berkurang dan dagingnya pun bisa disuplai tanpa harus berternak babi.
“Urusan kualitas apakah daging babi layak dikonsumsi atau tidak silakan nanti di laboratorium. Namun, pada dasarnya babi hutan di Ternate ini organik, karena hidup di alam tanpa campur tangan manusia,” tambah Much. Hidayah.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.