GERIMIS belum reda saat orang-orang sibuk memburu takjil di Kota Ternate. Jalan-jalan basah. Hilir mudik kendaraan yang berpapasan bikin macet. Di Pasar Higienis Bahari Berkesan, Kelurahan Gamalama, Ternate Tengah, aktivitas pedagang dan pembeli berangsur-angsur sepi. Sejumlah pedagang mulai sibuk mengemasi barang-barangnya, pada Sabtu sore, 15 Maret 2025.

Pada pelataran Pasar Higienis, genangan-genangan air hujan keruh tampak di sana sini. Beberapa meter berjalan ke arah kanan pantai, sebuah bangunan bobrok diguyur gerimis. Tempat itu lah pedagang sapi pasar Higienis berjualan. Meski begitu, tak ada lagi daging sapi yang dijajakan, karena para pedagang sudah pulang. Yang tersisa hanyalah bau anyir menguar.

Saat mendongak, sebuah pemandangan tak mengenakan. Beberapa atap dan plafon sudah bobrok. Air hujan menelusup masuk dari lobang atap tersebut hingga membasahi lantai.

Tak hanya pasar daging sapi, di lantai dua pasar Higienis, tergenang air hujan. Mafhum, sebagian atap pasar itu memang sudah bolong. Meski sudah beberapa kali dikeluhkan pedagang, tapi pemerintah rupanya belum bertindak menangani masalah tersebut.

Pedagang pakaian bahkan membentang terpal sebagai atap cadangan. Itupun pakai biaya sendiri. Bila tidak begitu, pakaian yang mereka jual bakal basah. Hari perlahan-lahan diterkam malam. Namun, gerimis belum juga berhenti. Usai menyaksikan kondisi di lantai dua pasar Higienis, saya lalu turun dan menyisir lapak-lapak pedangan rempah dan sayuran di muka pasar.

Dari beberapa meter saya berjalan, tampak sebuah lapak pedangan tak bertuan di Pasar Higienis Bahari Berkesan basah oleh hujan. Terpal berwarna jingga yang berfungsi sebagai atapnya sudah bolong.

Tak jauh dari situ, seorang pria remaja bernama Jefandi sedang berdiri memeluk tubuh yang kedinginan. Baju dan celananya basa oleh hujan. Pria yang mengaku berusia 15 tahun tersebut baru beres bekerja serabutan di pasar: memikul barang-barang para pembeli di pasar Gamalama hingga ke terminal Gamalama.

“Saya angka [angkat] ibu-ibu pe [punya] barang yang di beli di pasar ke terminal. Kadang dikasih Rp30 ribu. Hari ini saya dapat Rp 160 ribu,” katanya dengan tatapan malu, sembari mengacak-acak rambutnya sendiri.

“Tapi, sebagian saya sudah gunakan untuk beli makan. Karena saya tidak puasa,” ucapnya.

Atap lapak pedagang sayur di Pasar Higienis sudah rusak. Bila hujan, air menggenangi lapak. Foto: La Ode Zulmin/Tuturfakta.com

Beberapa meter dari posisi kami berbicang, seorang ibu sedang sibuk mencuci toge dalam baskom. Eti Aswad namanya. Seorang ibu berusia 50 tahun tersebut memang berjualan sayur-sayuran: jantung pisang, bayam, kangkung, labu, dan lainnya, di Pasar Gamalama sejak tahun 2005.

Sayur-sayuran yang dijual, seikat Rp5 ribu, ada yang dijual Rp10 ribu perikat. Dalam sehari, ia bisa bisa meraup untung ratusan ribu. Pendapatan ratusan ribu tersebut, menurut Eti sudah menurun, jika dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya yang bisa tembus sampai jutaan.

“Dulu dagangan saya dalam sehari laku sampai Rp1 juta. Itu cukup menjanjikan hingga tembus jutaan. Namun, belakangan, kata dia sudah mulai berkurang. Sudah banyak pedangan lain. Di bulan Ramadan tahun ini pun lapak saya cukup sepi,” ujarnya.

Belum lagi kalau cuaca tidak bersahabat. Paling banyak meraup omzet Rp100-200 ribu. Sore itu, stok sayuran Eti masih banyak. Sementara pasar sudah sepi pembeli. Biasanya, stok sisa jualannya, bakal disimpan dan akan dijual esoknya lagi.

“Hari ini, dagangan saya laku kurang lebih Rp200 ribu. Ini sangat menurun. Dua tahun terakhir memang pedangan di sini sudah banyak. Pembeli pun jarang-jarang mampir,” katanya, sambil mengaduk-ngaduk toge dalam baskom.

Lapak dagangan Eti berada di depan pasar Gamalama. Ia bertahan dengan beberapa payung besar. Sementara, pedagang lain sudah menggelar terpal yang disangka dengan rangka kayu balok kecil. Kondisi payung yang menaungi dagangan Eti mulai menghawatirkan. Beberapa di antaranya, sudah ompong. Bila hujan mengguyur, sebagian lapak dagangannya pun basa oleh hujan.

“Kalau ada rezeki saya bakal perbaiki. Tapaknya ini tinggal saya yang pakai payung di tengah-tengah pedagang lainnya,” katanya.

GEMA tarhim bakda Magrib mulai terdengar dari pengeras suara masjid-masjid. Sebentar lagi, waktu berbuka puasa bakal tiba. Seorang ibu berusia 53 tahun itu tengah duduk tenang di lapak jualannya.

Saya menghampiri Marni, nama ibu tersebut, ketika ia sedang melayani pelanggan yang membeli semangkuk bubuk sagu. Per mangkuk ia jual Rp10 ribu.

“Selain bubuk sagu, ada beberapa sayur-sayuran: bayam, kangkung, kentang, kacang panjang, wotel, sawi. Dijual dari harga Rp5 ribu hingga Rp10 ribu,” ungkapnya.

Berbeda dengan Eti, Marni mengaku jika belakangan ini dagangnya cukup lancar dan laris. Baginya, hujan maupun tidak, tidak berdampak pada dagangnya. Bahkan dalam sehari bisa meraup omzet hampir satu juta perhari.

“Dalam sehari dagangan saya laku Rp700-800 ribu. Lancar-lancar saja,” katanya, sambil mengemasi barang dagangnya.[]