Kartini itu perempuan pembaca buku. Membaca buku apa saja; buku-buku bahasa Belanda, begitu juga surat-surat dari kawannya orang Eropa.
Perempuan–yang namanya selalu disebut setiap tahun, 21 April, selalu menekuni setiap huruf pada buku. Mendalami gagasan–pemikir besar pada buku. Seperti orang yang selalu haus. Selalu melegakan diri pada buku. Pada buku, ia seperti menemukan cinta dari sang kekasih yang sesungguhnya.
Pada buku Habis Gelap Terbitlah Terang, ejaan lama, gubahan Armin Pane(1972), kita menemukan kegandrungan Kartini membaca buku: “…buku itu mendjadi nafsu baginja. Baru sadja habis pekerdjaannja, dengan segera sadja dia pergi asjik membatja. Apa sadja dibatjanja, mengerti atau tidak, tidak diperdulikannja, tidak dijadikannja putus asa. Djika tidak mengerti, diulangi sekali lagi, djika belum djuga, ditigakalikannja.”
Kartini sadar, untuk memahami hal yang lebih luas, dari kehidupan adat yang sempit, buku adalah jalan yang tepat. Jalan untuk mengait pemikiran orang-orang hebat. Jalan itu yang harus ia lalui atau ditekuni, untuk memahami kehidupan dunia yang kurang adil bagiannya–adalah kehidupan sebagai perempuan dan kemerdekaan.
Pada buku “Kartini Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin Teladan”, yang ditulis oleh Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, kita pun menemukan cerita-cerita Kartini menggandrungi buku, di usia masih muda:
“… banyak sekali buku-buku yang sangat sulit, yang sebetulnya masih terlalu tinggi bagi seorang gadis umur tiga belas atau empat belas tahun. Namun, apa yang tidak dimengerti dengan membaca satu kali, dibaca kembali untuk kedua kalinya. Jika masih juga belum jelas, diulangin lagi untuk ketiga, keempat kali, sampai ia mengerti betul isinya, barulah ia merasa puas.”
Di usai yang masih mudah, untuk menjatuhkan dirinya dengan hal-hal yang kotor, Kartini selalu membaca buku. Buku tentang emansipasi, revolusi, sastra, budaya, sosial maupun politik. Pun juga membaca pemikiran pejuang wanita India, Pandita Ramahni–wanita yang pikirannya selalu membuat hatinya penuh dengan gejolak perlawanan. Pengaruh pikiran pejuang wanita India itu, lewat bacaan, bisa kita baca di surat buat Ny. Van. Kol:
“Sudah berapa kali kami mendengar pejuang wanita India yang berani itu. Saya masih sekolah, tatkala saya untuk pertama kali mendegar tentang dia. O, saya masih ingat benar; waktu itu saya masih sangat mudah, baru 10 atau 11 tahun. Hati saya menyala-nyala tatkala membaca tentang dia di surat kabar. Saya sampai menggigil karena emosi: jadi tidak hanya wanita kulit putih yang dapat mencapai kehidupan bebas!–wanita berkulit sawo matang juga dapat membebaskan diri dan hidup mandiri…”
Membaca penggalan surat itu, kita menemukan bahwa buku atau majalah, sangat mempengaruhi pola pikirnya. Mampu berjuang pada dirinya untuk kebebasan. Menumbuhkan gagasan yang membuat ia mampu berani keluar dari hidup yang terkungkung.
Lewat buku, sahabat yang diam dan nyaman, ia mampu keluar dari pelabuhan hidup yang hanya bisa ia tuju: Adat yang tidak membolehkan perempuan berpendidikan, menduduki jabatan di dalam masyarakat. Perempuan yang diperbolehkan hanya takluk semata-mata. Perempuan yang wajib mendapat pingitan. Dan pada buku, ia mampu mengubah kedudukan perempuan: harus setara dengan laki-laki.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.