Guru Besar Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Prof. Muhmmad Aris menekankan pentingnya pengelolaan dan manajemen produksi komoditas rumput laut di Maluku Utara secara lebih maksimal. Menurutnya, potensi besar rumput laut di daerah ini belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal, pahadal dapat menjadi komoditas unggulan sektor kelautan dan perikanan.

“Salah satu komoditi unggulan yang diharapkan dapat menggenjot produksi itu adalah rumput laut. Komoditi ini memiliki peluang yang sangat tinggil karena sangat sesuai dengan karakteristik kondisi perairan yang ada di Maluku Utara dengan pulau-pulau kecil,” jelas Prof. Aris kepada reporter Tuturfakta, Senin, 21 April 2025.

Saat ini, setidaknya lima kabupaten di Maluku Utara telah membudidayakan rumput laut, yakni Halmahera Selatan, Halmahera barat, Morotai, Kepulauan Sula, dan Pulau Taliabu. Dari lima wilayah tersebut, Kepulauan Jorongan di Halmahera Selatan dan Pulau Limbo di Pulau Taliabu menjadi produsen terbesar karena rumput laut telah menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat.

Ketua Pusat Studi Aquakultur Unkhair ini berharap keberhasilan di dua kabupaten itu bisa menjadi contoh dan menyebar ke wilayah lain yang memiliki karakteristik perairan serupa. Ia juga menyoroti pentingnya integrasi dalam siklus budidaya, mulai dari produksi bibit, pemeliharaan, hingga panen secara mandiri agar hasil lebih maksimal.

Menurut Prof Aris, komoditas rumput laut memiliki peluang besar, apalagi sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan di Maluku Utara. Namun demikian, ia menyoroti lemahnya peran pemerintah daerah dalam mendorong akselerasi produksi.

Menurutnya, perlu adanya strategi pengembangan yang lebih luas, termasuk menciptakan sentra-sentra produksi baru. Karena tanpa dorongan pemerintah provinsi Maluku Utara, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan, pengembangan ini akan terhambat.

“Makanya diharapkan DKP menjadi panglima yang akan memimpin pengembangan produksi rumput laut,” jelas Prof. Aris.

Prof. Aris juga mengkritik lemahnya pencatatan data produksi rumput laut oleh pemerintah daerah. Banyak produksi dari Pulau Taliabu dan Kepulauan Jorongan di Halmahera Selatan yang tidak tercatat karena langsung dikirim ke luar daerah. Menurutnya, hal ini harus dibenahi. Data produksi yang tidak tercatat akan mempengaruhi stratistik dan perencanaan pengembangan wilayah.

Menurutnya, untuk menunjang budidaya rumput laut, perlu disiapkan infrastruktur seperti kebun bibit, serta mitigasi terhadap perubahan iklim yang mengancam kuantitas produksi. Ia juga mendorong riset kolaboratif untuk menciptakan bibit unggulan yang tahan terhadap perubahan lingkungan.

Selain itu, Prof. Aris juga menekankan pentingnya kualitas karaginan dalam rumput laut laut–senyawa yang banyak dibutuhkan industri makanan, kosmetik, dan bioenergi. Kualitas karagenan inilah yang menjadi tujuan para industri memilih rumput laut.

“Kualitas karagenan rumput laut di Maluku Utara rata-rata paling tinggi 20 persen. Ini menjadi primadona. Tinggal pengelolaan pasca panen yang perlu ditingkatkan sehingga terjadi degradasi atau penurunan kualitas,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa peningkatan produksi rumput laut harus melibatkan kolaborasi antar pemerintah, akademisi, dan pelaku industri agar bisa menjadi produk unggulan daerah yang tidak hanya menunjuang ekonomi, tapi juga berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan dengan dapat mengurangi emisi karbon.

“Halteng, Haltim, dan Obi dulu ada budidaya rumput laut. Tapi kualitasnya rendah. Perlu juga pemilihan lokasi yang bagus. Kalau lokasi yang mengalami pencemaran harus memerlukan bibit yang direkayasa. Dan, dari pihak kampus mesti diharapkan dapat membuat suatu rekayasa teknologi yang bisa menghasilkan bibit yang tahan terhadap perubahan iklim,” terang Prof. Aris.