Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara mengatakan aktivitas tambang PT Sembaki Tambang Sentosa (STS) menyerobot tanah adat Desa Wayamli, di Maba Tengah, karena difasilitasi izinnya oleh Pemerintah Daerah Halmahera Timur sendiri.

Sebab, izin usaha pertambangan (IUP) PT STS diterbitkan semasa pemerintahan Welhelmus Tahalele (2005-2010) pada 7 Desember 2009 dan akan berakhir pada 7 Desember 2029. Sehingga, menurut Julfikar, mustahil berharap pada pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah atau mencabut izin tersebut.

“Perusahaan tidak berani mencaplok lahan masyarakat adat tanpa persetujuan atau pemberian izin konsesi dari pemerintah. Sementara, izin PT STS, seperti yang kita tahu, dikeluarkan sendiri oleh Bupati Halmahera Timur Welhelmus pada 2009. Artinya, rezim politik daerah sendiri yang memfasilitasi pengrusakan dan pencaplokan lahan adat, membiarkan tanah adat dirusak oleh tambang nikel,” jelas Julfikar.

Menurut Julfikar, hal itu merupakan kejahatan dan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan ruang hidup masyarakat adat di Maba. Wilayah dimana perusahaan melakukan pengerusakan merupakan daerah yang dikeramatkan, tetapi dengan sekejap digusur habis.

“Yang dilakukan PT STS bukan sekadar menggerakan alat berat lalu menggusur hutan dan mengeruk tanah. Tapi lebih dari itu, patut disebut sebagai ‘kejahatan terorganisir’,” ujar Julfikar kepada reporter Tuturfakta, Rabu, 23 April 2025.

Menurut Julfikar, kejahatan terorganisir yang dimaksud karena, perusahaan tersebut disokong oleh rezim politik yang bekerja sama memuluskan izin operasi tambang PT STS. Sehingga, perusahaan dengan berani mencaplok lahan adat masyarakat.

Pasalnya, puluhan masyarakat adat Wayamli, Kecamatan Maba Tengah, memblokir aktivitas tambang PT STS pada 21 April 2025 lalu. Aksi itu dipimpin oleh Ahmad Hi. Djalim, Kimalaha  Wayamli. Mereka memprotes atas dugaan perusakan lahan adat kurang lebih seluas 20 hektar di kawasan hutan.

Bagi Julfikar, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap perampasan lahan yang dilakukan oleh PT STS. Menurutnya, pemerintah harus merekomendasikan ke pemerintah pusat untuk mencabut izin PT STS, bukan meminta dihentikan sementara.

“Namun, ini seperti panggang jauh dari api. Toh, perusahaan itu mulus beroperasi karena Pemda,” duga Julfikar.

PT STS sendiri memiliki lahan konsesi seluas 4.480 hektar yang terbentang luas di wilayah adat masyarakat di Halmahera Timur.

Dalam MODI Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tercatat, kepemilikan saham pada PT STS ini, di mana Esteel Enterprise PTE. LTD menguasai 70 persen yang merupakan kepemilikan saham mayoritas. Perusahaan ini berbasis di Singapura sedangkan 30 persen saham dimiliki oleh PT Bahtera Mineral Nusantara.

Sebelumnya, masyarakat adat Wayamli membawa tiga tuntutan utama dalam aksi tersebut, diantaranya mendesak perusahan menghentikan eksploitasi di wilayah adat Kimalaha Wayamli.

“Menuntut ganti rugi atas kerusakan lahan adat dan meminta perusahaan menghadirkan dokumen fisik izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH),” tegas Ahmad Hi. Djaim, sebagaimana dikutip dari Halmaheranesia, 22 April lalu.

“Mereka (PT STS) mulai operasi di tanah adat tanpa sosialisasi sama sekali. Kami akan tetap di sini dan tidak akan mundur sampai tuntutan kami dijawab oleh pihak perusahaan,” sambungnya.

Ia menambahkan, ini merupakan kali kedua masyarakat melakukan aksi serupa, namun hingga kini belum ada tanggapan dari PT STS.

Ahmad juga menegaskan bahwa kerusakan hutan adat yang dijaga turun-temurun oleh masyarakat merupakan pelanggaran serius.

“Masuk wilayah adat tanpa izin sama saja dengan mencuri. Perusahaan harus bertanggung jawab, tidak hanya kepada masyarakat lingkar tambang, tapi juga kepada tanah adat yang telah dirusak,” tandasnya.