TIDUR di atas karpet tebal bercorak kura-kura, Rifal dan Erik terlentang di depan pintu tak sadarkan diri. Gemuruh pesawat dari arah bandara Sultan Babullah, seakan tidak mempan membuat keduanya bangkit dan bergegas.
Mungkin karena terlahir dan besar di lingkungan berisik semacam itu, sehingga telinga mereka sudah berdamai dengan bising burung besi yang kerap mendarat atau terbang lepas landas ke udara.
Rencana bangun pagi sudah mereka niatkan sehari sebelumnya–Sabtu, 11 April dengan tujuan ke kebun, memeriksa pohon durian yang katanya berbuah tidak banyak dan sudah ada yang matang.
“Tong harus bangun pagi,” gumam Erik, mulutnya komat-kamit mengunyah kacang sisa lebaran.
“Berangkat juga harus pagi-pagi sekali biar dapat durian,” gumamnya lagi sambil menyalin tuak yang disuling dari batang pohon aren. Ia kuatir, jika terlambat ke kebun, rezeki mendapatkan durian jatuh bisa disalip orang.
Tapi apa daya, pengaruh tuak yang mereka tenggak di Sabtu malam membuat keduanya berat kepala dan terpaksa tidur lebih lama. Mereka baru beranjak ketika matahari tepat di puncak kepala.
Lima jam setelah pesawat pagi meninggalkan Ternate, keduanya bersiap keluar rumah, berbekal air kemasan dan parang tanpa sarung. Mereka meluncur dengan sepeda motor yang kondisinya tidak siap di medan menanjak.
Dari arah utara Kelurahan Tubo, dua sepeda motor terseok-seok dipaksa melewati jalan aspal menanjak pada Ahad siang pekan kedua April 2025.
Kebun yang dituju berada di Kelurahan Moya, Ternate Tengah, di ketinggian ratusan meter di atas permukaan laut, atau lebih dari seribu meter di bawah puncak gunung api Gamalama.
Susur jalan yang mereka lewati tidak ada lagi pohon liar, tergantikan oleh tanaman pala dan disesaki rimbun inang pohon cengkeh.
Beberapa di antaranya berdiri dengan kondisi telah mati; daun gugur sementara dahan dan reranting kering, bahkan ada yang sudah tumbang.
Tapi hanya berjarak dua-tiga langkah, berdiri bibit-bibit baru siap menggantikan induknya.
Pohon-pohon durian dengan batangnya yang besar berdiri menjulang, selain dihimpit tanaman rempah yang pernah menjadi idola para kolonial, berdampingan juga dengan satu-dua tanaman nangka atau manggis, pinang juga kakao.
Durian-durian itu tumbuh tinggi, melewati pohon apapun yang ditanam di lahan yang sama.
Kata Erik, pohon durian yang saat itu mereka datangi sudah dinikmati secara bergenerasi, ditanam semasa buyutnya lalu diwariskan kepada kakek dari pihak ibu.
Erik termasuk generasi keempat, usianya kini 21 tahun. Berkali-kali pula ia menikmati hasil durian warisan itu.
Tiga pohon durian yang berdiri jarak-jarak di lahan itu tidak semuanya berbuah. Dari sekian musim panen yang pernah Erik lewati, baru kali ini ia merasa buah durian tidak sebanyak seperti musim-musim sebelumnya.
“Musim tahun ini,” kata Erik begitu tiba di kebun. “Durian pe buah payah sekali memang. Biasa tu satu pohon ini dia pe buah puluhan, sampai seratus lagi mungkin. Tapi sekarang coba lihat, 20 me tra sampe,” wajahnnya menengadah ke dahan di mana belasan buah durian tergantung.
“Semasa masih jadi bunga, mungkin pengaruh tanah goyang kaapa e kong gugur banyak?” lanjut Erik penuh tanya.
Ia kemudian berlalu dan berkeliling pohon durian berharap ada buah yang tersisa.

**
KEBUN durian yang berada di kompleks Guaesalo itu punya sebuah gubuk papan beratapkan seng bekas, dilengkapi jam dinding tak berfungsi dan satu pelita tergantung di teras depan. Jaring laba-laba silang-menyilang di antara tiang dan atap teras.
Di bawah gubuk di sudut bagian kanan, ada bekas penampungan air hujan, sementara di depannya, sebuah bivak berlantai bambu beratapkan potongan terpal, berdiri tepat di bawah pohon pala besar.
Rifal duduk melepas lelah, sesaat kemudian Erik pun muncul tanpa hasil apa-apa. Tidak jauh dari tempat mereka beristirahat, mesin pemotong gulma meraung pelan di antara lebatnya pohon rempah.
Erik memperkirakan, durian warisan kakeknya telah berusia ratusan tahun. Dan barangkali layak disematkan kepada kebanyakan pohon durian di Ternate saat ini.
Perkiraan itu sungguh tidaklah berlebih, sebab hal serupa diamini oleh Jauhar A. Mahmud,seorang warga di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah. Kampung yang berada diketinggian 500 meter di atas permukaan laut ini tidak jauh dari Moya.
Pekan kedua Februari lalu, Jauhar (61 tahun) ditemui di rumahnya. Sore itu, ia sedang menanti waktu magrib dengan setelan baju koko di ruang tamu–sebuah kofia–peci hitam mengkilap juga bersarang di kepalanya.
Ikut juga ketiga anaknya yang asyik menonton siaran di televisi. Salah seorang di antaranya terus mengayunkan tangan naik-turun mengikuti gerak ayunan bayi yang tergantung di hadapan mereka.
Jauhar yang baru saja kembali dari balai desa, menjamu sekelompok mahasiswa yang datang bertemu untuk sebuah program pengabdian di kampung mereka, bercerita; hampir semua penduduk di Tongole punya pohon durian. Dan pohon-pohon itu sudah ada sejak era penjajahan dulu.
“Kalau berbicara soal durian,” kata Jauhar, tangan kanannya menyusup ke saku celana. “Ada durian yang tong punya orang tua-tua tanam di era 70-an. Tapi Di zaman Belanda dulu juga sudah ada itu durian.”
“Jadi kalau tong lihat yang batang-batang besar sekali itu, di masa Belanda memang sudah ada jauh hari, tapi tidak ditebang to sampai sekarang,” lanjut Jauhar, tanganya yang sempat masuk ke saku celana dikeluarkan, disusul sebungkus rokok yang tampak masih berisi.
Keterangan seperti yang Jauhan sampaikan pernah dicatat dengan baik oleh Allfred Russel Wallace sejak abad ke-19. Naturalis Inggris yang namannya diperdebatkan sebagai salah seorang perintis teori ‘seleksi alam’ itu, menginjakkan kaki di Ternate pada pagi hari 8 Januari 1858 silam.

Ia begitu takjub dengan pulau vulkanis ini–tidak saja pada alamnya, tapi juga penduduk dan hasil bumi. Dalam bukunya The Malay Archipelago, Wallace menulis:
“Bagian bawah gunung, di belakang Ternate, hampir seluruhnya ditutupi dengan hutan pohon buah-buahan, dan selama musim ini, ratusan pria dan wanita, anak laki-laki dan anak perempuan pergi setiap hari untuk memetik buah matang. Durian dan mangga, dua dari yang terbaik buah-buahan tropis, sangat melimpah di Ternate daripada yang pernah aku lihat, dan buah tersebut memiliki kualitas yang tidak kalah dengan yang di negara lain di dunia…”
Kalau dihitung dari catatan sang tualang sekaligus ilmuan kelahiran Wales 1823 itu, durian di Ternate setidaknya sudah bertahan selama 167 tahun. Dan sampai sekarang, sisa-sisa kelimpahan masih bisa dinikmati–sekalipun–produksinya dari tahun ke tahun barangkali sudah tidak semarak saat itu–entah karena faktor usia atau satwa penyerbuknya yang mulai berkurang. Yang terakhir itu sangat jarang dihubungkan.
Bagi petani seperti Jauhar, berbuah tidaknya pohon durian bergantung pada musim. Ia mengumpamakan layaknya musim buah pada tanaman tahunan seperti cengkeh.
“Sebenarnya, kalau torang pelajari tentang iklim, tentang musim ini, dia ada pengaruhnya juga,”tutur Jauhar.
“Ada musim hujan, ada musim panas. Kalau musim hujan terus, pasti ujung muda tumbuh-tumbuhan akan tumbuh terus, dan itu tidak akan menimbulkan buah,” lanjut Jauhar, ia kemudian menarik rokok yang berada di sudut meja.
“Tapi kalau didominasi dengan panas, ujung muda tumbuhan tidak akan tumbuh, maka terjadilah bunga,” tambah Jauhar dengan sebatang rokok sudah mengepul di ujung bibirnya.
Selain faktor musim, usia pohon juga turut menjadi penyebab.
Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Rasmi Hi. Panu berjudul Konservasi Populasi Durian Varietas Lokal Biji Mati di Kebun Masyarakat Kota Ternate (2019). Tesis Rasmi menyebutkan bahwa faktor yang melatarbelakangi timbulnya persoalan penurunan produksi disebabkan oleh usia pohon yang dianggap sudah di atas 40 tahun.
Rasmi meneliti di empat wilayah yakni Tobololo, Moya, Gambesi-Sasa, hingga Kelurahan Fora, yang ia temukan durian disitu mengalami penurunan produksi dalam beberapa kali musim.
Barangkali apa yang diperoleh Rasmi dari riset tersebut dan dikatakan Jauhar ada benarnya. Hanya saja, peran satwa terhadap produktifitas durian tidak boleh diabaikan.
Sekalipun studi tentang satwa liar terhadap durian di Ternate masih belum cukup, namun di banyak literatur menunjukan, satwa yang punya andil besar terhadap buah durian adalah kelelawar. Hewan ini berperan menjadi penyerbuk bunga durian di malam hari sekaligus berperan meningkatkan kualitas buahnya.

Sheherazade, seorang peneliti kelelawar dalam liputan Eko Rusdianto Mengenal Kelelawar, Satwa Penyerbuk Tanaman dan Pengendali Hama di Mongabay, pada 2020, menuliskan, dalam proses penyerbukan bunga durian, ada bantuan dari satwa liar multispesies, yakni dari invertebrata yang diwakili lebah dan ngengat, sementara vertebrata dari kelompok kelelawar.
Mamalia ini disebut sebagai vertebrata utama yang mengunjungi bunga durian untuk penyerbukan alami. Dengan begitu, pahlawan malam yang kerap dituduh sebagai perusak buah ini–justru punya peran besar terhadap setiap durian yang dinikmati oleh penggemarnya.
Hanya saja, unsur-unsur pendukung yang bisa membuat kelelawar bertahan di wilayah urban seperti Ternate patut dipertanyakan. Sebab, tanpa unsur pendukung seperti habitat yang aman dan pakan yang berlimpah, mereka bisa saja terpisah dari lingkungan yang didiami.
Dari studi Sigit Wiantoro dan Anang S. Achmadi berjudul Kelimpahan dan Keragaman Kelelawar dan Mamalia Kecil di Pulau Ternate yang terhimpun dalam Ekologi Ternate terbitan LIPI 2011, menyebutkan kelelawar sangat bertangung pada habitat dan pakan alami.
Apalagi, Pulau Ternate yang tidak begitu luas ditambah dengan pertumbuhan penduduk yang kian pesat, akan berpengaruh terhadap keberadaan satwa liar, termasuk kelelawar.
Dengan rusaknya habitat, tidak menutup kemungkinan pakan kelelawat pun akan ikut menyusut. Kelelawar adalah satwa kunci, jika mereka menghilang, akan sangat berpengaruh terhadap jenis yang lain.
Masih pada studi Sigit dan Achmadi, menyebutkan sedikitnya ada 10 jenis kelelawar di Ternate–satu jenis pemakan serangga, sisanya pemakan buah. Kelelawar pemakan serangga hanya ditemukan satu jenis, yaitu Amballonura nigrescens.
Sementara kelelawar pemakan buah di antaranya Nyctimene sp, Rousettus amplexiacaudatus, Dobsonia viridis, Pteropus personatus, Pteropus hypomelanus, Eonycteris spelaea, Macroglossus minimus, Nyctimene albiveter, dan Dobsonia moluccensis.
Kelimpahan jenis kelelawar dijumpai di areal danau Laguna pada ketinggian 100-200 meter di atas permukaan laut.

Antisipasi “kemungkinan” yang akan terjadi
Sebagai wilayah urban, ke depan penghuni pulau Ternate bisa mengancam keberadaan kelelawar. Maka untuk mengantisipasi itu, edukasi penting untuk terus dikoarkan dan melibatkan partisipasi masyarakat dari tingkat tapak.
Anak-anak dari sekolah dasar sudah harus tahu pentingnya menjaga keanekaragamn hayati seperti kelelawar yang mendukung kehidupan di planet ini. Begitu juga di tingkat yang lebih atas; perguruan tinggi misalnya harus ambil peran, menjadi motor penggerak utama.
Jangan sampai, kekuatiran para peneliti bisa saja terwujud di tahun-tahun akan datang. Sulawesi yang katanya dihuni oleh sekitar 70 jenis kelelawar dari 239 jenis di Indonesia, sekarang dalam ancaman–diburu untuk memenuhi meja perayaan hari besar di Manado.
Pemburu dan pengepul mengambil untuk dari situ meskipun dengan cara-cara yang lancung.
Dalam riset yang dilakukan oleh Liana dkk (2019), dikutip oleh Liana dan Witno yang terbit di Jurnal Penelitian Kehutanan Bonita (2021), menyebutkan; sebanyak 189 ton daging kelelawar dikonsumsi di Sulawesi Utara per tahun, jumlah itu setara dengan 569.515 ekor kelelawar yang diburu dari alam setiap tahunnya.
Semua provinsi di Sulawesi sudah disebutkan sebagai dapur pemasok daging kelelawar ke pasar-pasar ekstrim di Kota Manado, dari Kendari di tenggara, Sidrap di selatan, atau Desa Karya Baru dan Pulau Idaman di Gorontalo. Begitu juga di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah, telah menjadi ladang perburuan.

Ketika kelelawar di daerah-daerah itu terus diburu dan populasinya semakin menurun, maka jumlah yang diinginkan pengepul tidak akan lagi terpenuhi. Dengan begitu, wilayah lain harus diincar. Dan saat ini, Kalimantan, Papua juga Ambon telah menjadi bagian dari lahan berburu.
Tidak menuntut kemungkin Maluku Utara yang hanya berjarak sekian mil dari Sulawesi, atau hanya berkisar 15 jam dari Ternate ke Manado lewat jalur laut, akan disasar untuk memenuhi pasar-pasar di sana.
Para pengepul bisa langsung datang sendiri atau kalau itu dianggap terlalu repot, kucuran modal bisa mengalir diam-diam dan pemburu di Ternate yang akan bertindak. Kemungkin-kemungkin seperti itu harus diwaspadai.
Dengan demikian, menjaga habitat dan populasi kelelawar, sama halnya dengan mempertahankan durian Ternate agar terus berbuah di setiap musimnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.