Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi mengecam keras tindakan kekerasan aparat terhadap masyarakat adat Desa Wayamli dan Yawanli, Maba Tengah, Halmahera Timur, penolak tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS), pada Senin, 28 April 2025. Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip hukum dan hak asasi manusia.

Dealfrit Kaerasa, Staf LBH Marimoi mengatakan penggunaan gas air mata oleh anggota polisi dan brimob dalam menangani aksi protes masyarakat adat tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 yang mengatur tahapan penggunaan kekuatan.

“Dari keterangan warga, tembakan gas air mata itu tanpa melalui aba-aba, atau peringatan terlebih dahulu. Dan, itu diarahkan langsung ke masyarakat sehingga beberapa warga alami mengakibatkan luka, dan membuat trauma serius untuk ibu-ibu dan anak-anak. Padahal, masyarakat hanya menyuarakan aspirasi terkait tanah dan kebun mereka, yang dicaplok,” kata Dealfrit kepada reporter Kadera.id, Rabu, 30 April 2025.

Dealfrit menambahkan, penggunaan gas air mata, meski tergolong senjata non-mematikan, tetapi harus mengikuti prinsip-prinsip hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum nasional dan internasional.

“Sehingga LBH Marimoi melihat, tindakan yang berlebihan hingga melukai rakyat seperti yang terjadi di Haltim, sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak sesuai dengan prinsip hukum,” terang Dealfrit.

Ia mengingatkan bahwa hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan diatur lebih rinci dalam UU No.9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Bagi kami, yang terjadi di Haltim tersebut secara terang-terangan jika negara [kepolisian] tidak menjamin sama sekali hak kebebasan berpendapat dimuka umum,” ujarnya.

Karena itu, LBH Marimoi berkomitmen untuk terus mengawal dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat tetap dijamin selama proses hukum berlangsung, termasuk dalam pemeriksaan atau pengambilan keterangan oleh kepolisian. Dealfrit juga menyebutkan, beberapa warga telah dilaporkan ke Polda Maluku Utara pasca aksi tersebut.

Terkait tindakan represif ini, LBH Marimoi mendesak Kapolda Maluku Utara dan Kompolnas untuk memberikan sanksi tegas kepada personel Brimob Polda Maluku Utara dan Polres Halmahera Timur yang terlibat.

“Terkait penembakan yang dilakukan terhadap warga, kami meminta ke Kapolda Maluku Utara, dan juga Kompolnas, untuk merespon dan memberikan sanksi tegas atas tindakan-tindakan represif personil [aparat kepolisian]. Tentu kita juga butuh dukungan dari berbagai elemen atas persoalan ini,” jelas Dealfrit.

Sementara, M. Ruh, warga Maba, mengatakan bahwa aksi yang dilakukan masyarakat Wayamli dan Yawanli awalnya berlangsung damai. Mereka hanya ingin bertemu langsung dengan pihak perusahaan untuk menuntut hak atas tanah adat dan kebun yang digusur tanpa prosedur hukum dan lingkungan yang benar.

“Kalau tidak dihalangi itu aman-aman saja. Tapi dong [aparat kepolisian ] yang kamuka [memulai]. Ada bukti video-video yang so [sudah] posting itu. Ada beberapa korban, dan yang paling parah itu termasuk dapat empat kali tembakan di bagian tubuhnya. Itu memicu kemarahan masyarakat adat yang bersolidaritas. Akhirnya terpaksa ambil batu dan lempar,” jelasnya.

Menanggapi hal ini, IPDA Ajwan Maradjabessy, Kasi Humas Polres Halmahera Timur, menyatakan bahwa tindakan penembakan gas air mata dilakukan untuk membubarkan massa aksi yang dinilai sudah bertindak ‘anarkis’.

“Anggota meminta masa aksi bahwa untuk orasi di luar areal portal PT STS. Namun, tidak diindahkan dan sempat terjadi pelemparan ke arah personil pengamanan sehingga terjadi bentrokan antara masa aksi dengan personil pengamanan,” kata Ajwan dalam keterangan tertulis, Selasa, 29 April 2025.

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter