Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Cipayung Plus Maluku Utara Bergerak menggelar aksi demonstrasi di dua lokasi berbeda, yakni Kantor Polda Maluku Utara dan kediaman Gubernur Maluku Utara, pada Jumat, 2 Mei 2025.
Aksi ini digelar dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei). Dalam unjuk rasa tersebut, massa membawa 26 tuntutan, di antaranya:
- Mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut IUP PT Karya Wijaya milik Sherly Tjoanda dengan nomor: 04/1/IUP/PMNDM/2025.
- Menyelamatkan pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, serta menghentikan perampasan ruang hidup.
- Menjamin kesejahteraan dan ruang demokrasi bagi buruh.
- Menghentikan liberalisasi dan politisasi pendidikan, serta menerapkan Pasal 33 UUD 1945.
- Menolak RUU TNI, memberantas praktik tambang ilegal, dan mendesak DPRD Provinsi Maluku Utara membentuk pansus pertambangan serta Perda tentang masyarakat adat.
Mereka juga menuntut agar Gubernur Maluku Utara segera menyalurkan Dana Bagi Hasil (DBH) ke kabupaten/kota, mengevaluasi kinerja Dinas PUPR, menghentikan penerbitan IUP baru, serta membangun rumah aman bagi pekerja seks komersial (PSK). Selain itu, mereka meminta agar Polda Malut menyegel PT TUB dan mencabut IUP PT STS di Halmahera Timur.
Salah satu tuntutan utama adalah pemecatan Kapolres Halmahera Timur. Massa menuding aparat Polres Haltim bertindak represif terhadap warga yang menolak tambang nikel PT STS. Mereka juga mendesak penangkapan mafia BBM bersubsidi dan mafia tanah di Malut, serta menertibkan retribusi dan pungutan liar di pasar-pasar Ternate.
Tuntutan lain mencakup, kenaikan gaji buruh PT Niko, penyelesaian persoalan buruh oleh NHM, pemenuhan hak cuti haid dan hamil bagi buruh perempuan, Pembayaran tunjangan kinerja (Tukin) dosen. Termasuk pengusutan kasus kekerasan seksual di Maluku Utara.
Koordinator lapangan, Aburizal Bakti, menegaskan bahwa persoalan utama adalah aktivitas PT STS yang menyerobot tanah adat dan kebun warga. “Kami minta pemerintah pusat dan daerah segera mencabut IUP PT Sambaki Tambang Sentosa (STS),” tegasnya saat diwawancarai di depan Kantor Polda Malut.
Ia juga meminta Kapolda Malut segera memecat Kapolres Haltim karena tindakan represif terhadap warga. Selain itu, perusahaan tambang yang tidak memenuhi syarat administratif juga diminta ditertibkan. “Kalau tidak lengkap dokumen, maka itu termasuk ilegal mining. Seperti PT Priven, PT Ara, dan PT Halmahera Bangkit,” ujarnya.
Rafsan R. Daraim, Ketua Umum KAMMI Maluku Utara yang juga ikut dalam aksi, menyoroti tindakan aparat di Haltim yang menembakkan gas air mata ke warga. “Jika tidak ada kejelasan hukum terhadap pelaku, kami minta Kapolres Haltim dicopot,” katanya.
Rafsan menambahkan bahwa penindakan tambang ilegal tidak boleh hanya menyasar tambang rakyat, tetapi juga perusahaan besar yang sudah melewati masa berlaku izinnya. “Kapolda juga harus menindak tegas mafia tanah dan BBM di Maluku Utara,” tandasnya.
Aksi sempat memanas saat terjadi adu mulut antara massa dan aparat kepolisian. Beberapa peserta aksi bahkan mengaku mengalami kekerasan.
“Ada tiga orang dipukul, termasuk saya. Saya dicekik dan dipukul hingga jatuh ke tanah. Soal langkah hukum, akan kami bahas bersama massa aksi lainnya,” ungkap Tendri Rudin, salah satu peserta aksi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.