Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional yang jatuh pada 3 Mei dengan menggelar Panggung Demokrasi bertema “Jurnalis Menghadapi Kerusakan Lingkungan”. Kegiatan ini berlangsung di Landmark Ternate, Sabtu, 3 Mai 2025.
Puluhan jurnalis hadir dan menyuarakan isu kebebasan pers, hak-hak pekerja media, serta kerusakan lingkungan yang semakin parah di Maluku Utara. Acara juga dimeriahkan dengan pertunjukan teatrikal dari Teater Anak Bangsa dan orasi dari berbagai pihak, termasuk Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kota Ternate, Damis Basir.
Sekretaris AJI Ternate, Suryani S. Tawari, mengatakan bahwa peringatan ini menjadi momen refleksi atas pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalistik di Maluku Utara. Ia menyoroti berbagai bentuk kekerasan yang masih kerap dialami jurnalis, baik oleh aparat kepolisian, TNI, maupun Satpol PP.
“Beberapa bulan lalu, sejumlah jurnalis di Kota Ternate mendapat tindakan represif dan pemukulan dari anggota Satpol PP. Padahal, aparat seharusnya melindungi, bukan justru menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis,” ujar Suryani dalam orasinya.
Ia juga menyoroti persoalan kesejahteraan jurnalis yang belum terpenuhi. Banyak jurnalis di Maluku Utara, kata ia, belum mendapatkan upah layak dan hak-hak dasar lainnya.
“Jurnalis juga buruh. Kami bekerja, tenaga kami diperas, tapi hak-hak kami sering diabaikan,” tegasnya.
Selain isu kebebasan pers dan kesejahteraan, Suryani juga menyerukan perhatian terhadap krisis ekologis di wilayah tambang. Ia mengecam kekerasan terhadap masyarakat lokal yang memperjuangkan lingkungan hidupnya.
“Masyarakat di lingkar tambang, seperti di Halmahera Timur, sering menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi karena menolak tambang,” ujarnya.
Mantan Ketua AJI Ternate, Fikram Salim, mengingatkan bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh konstitusi dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ia meminta masyarakat dan pemerintah menghormati peran jurnalis sebagai pengawal demokrasi.
“Jurnalis menjalankan amanat rakyat, menjadi pengawas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena itu, jurnalis harus diperhatikan dari berbagai aspek,” kata Ikram.

Sementara, Kepala Dinas Kominfo dan Sandi Kota Ternate, Damis Basir, mendorong jurnalis Maluku Utara, agar lebih lantang menyuarakan isu lingkungan yang kian masif dan mengkhawatirkan.
Bagi ia, jurnalis bukan sekadar membuat berita, tapi seringkali satu-satunya harapan terkahir ketika suara-suara kecil yang ditenggelamkan oleh kepentingan besar. Pasalnya, ada krisis jauh lebih sulit namun sangat menghantui: kerusakan lingkungan, hutan gundul, laut tercemar, tambang rakus yang melubangi perut bumi, dan perubahan iklim yang menghantam nelayan, bahkan anak-anak di pesisir.
Jurnalis lingkungan bukan tanpa resiko, intimidasi, sensor, bahkan kekerasan menjadi ancaman nyata. “Tapi, di balik semua tantangan itu ada tanggungjawab moral dan sejarah yang tak ternilai, kerusakan yang kerap dibungkus rapat-rapat,” katanya, dalam orasi ilmiahnya.
Karena itu, lanjutnya, jurnalis mesti memperkuat literasi lingkungan di ruang redaksi, perlu belajar dari sains, bekerja sama dengan aktivis, dan memanfaatkan teknologi untuk membuka tabir kerusakan yang kerap dibungkus rapat-rapat. Dan tentu, bukan tanpa resiko, intimidasi, sensor, bahkan kekerasan menjadi ancaman nyata.
“Bencana ekologis bukan hanya sekadar berita, ia menjadi kenyataan yang menuntut keberanian jurnalis untuk bersuara lebih keras dan lebih jujur,” tandasnya.
Di tengah informasi yang deras, lanjutnya, jurnalis tidak hanya sekadar menjadi pelopor kejadian, tapi, penjaga kesadaran yang kerap kali dibentuk oleh kepentingan ekonomi politik. Karena itu, tetap dituntut menjaga petani yang kehilangan lahan, nelayan yang tak dapat ikan, masyarakat adat terusir dari tanahnya,
“Jurnalis menjadi penjernih menunjukan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya sekadar berita tapi kenyataan yang mengancam kehidupan manusia secara kolektif,” ucapnya.
Bumi tidak lagi diam, ia berbicara lewat longsor yang melumat desa, lewat suhu yang kian tak menentu dan musim yang kenal waktu. Tapi pertanyaannya siapa yang benar-benar mendengar.
Di sinilah jurnalis berdiri. Jurnalis bukan hanya pelopor kejadian, tapi penjaga kesadaran di tengah derasnya arus informasi yang sering dibentuk oleh kepentingan ekonomi dan politik. Tetap dituntut menjaga petani yang kehilangan lahan, nelayan yang tak dapat ikan, masyarakat adat terusir dari tanahnya,
Ia bilang, jurnalis, mesti mempertemukan fakta dan empati. Artinya, tidak hanya menulis tentang hutan gundul, atau laut tercemar, tapi juga menjelaskan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
“Jurnalis menjadi penjernih menunjukan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya sekadar berita tapi kenyataan yang mengancam kehidupan manusia secara kolektif,” ungkapnya.
Karena itu, ia berharap generasi muda jurnalis di Maluku utara, agar tidak takut menulis tentang lingkungan, dengan mempelajari sains, pahami kebijakan, dekati masyarakat akar rumput dan buka mata terhadap praktik-praktik yang merusak.
“Jadikan pena sebagai alat advokasi yang santun tapi tegas. Jadikan kamera sebagai sebagai saksi yang jujur, dan jadikan hati sebagai kompas yang selalu berpihak pada kehidupan,” pungkasnya.
Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Kota Ternate, Agus Fian Jambak mengatakan hal yang serupa. Ia berharap, jurnalis terus menyampaikan keluh kesah, menyampaikan suara masyarakat lingkar tambang yang tengah memperjuangkan hak-hak warga masyarakat lingkar tambang.
“Korporasi tambang tidak hanya menguntungkan, tapi juga merugikan dan menjadi bencana di Maluku Utara, khusunya, Halmahera dan Obi,” tandasnya.
Sebab, menurutnya, banyak sekali ketimpangan sosial, ekonomi, pembangun hayang dihadapi masyarakat lingkar tambang yang menjadi tanggung jawab kita semua. Pemerintah, masyarakat dan jurnalis.
“Jurnalis untuk memastikan seluruh harapan warga masyarakat lingkar tambang dapat terjaga terjamin sesuai harapan kita bersama,” ujarnya
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.