Program rumah belajar atau sekolah rakyat yang diluncurkan Pemerintah Kota Ternate melalui Dinas Pendidikan (Disdik) pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, Senin, 2 Mei 2025, menuai sorotan dari kalangan akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate.
Program ini dibikin untuk menampung siswa putus sekolah di Kota Ternate. Sebagaimana data pokok pendidikan (Dapodik), jumlah siswa putus sekolah di wilayah ini mencapai lebih dari 100 orang, mencakup jenjang SD, SMP, hingga SMA.
Namun, sejumlah akademisi menilai program ini belum representatif karena tidak disertai konsep yang jelas dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia kerja.
Ketua Forum Dosen Unkhair (FDU) Ternate, Muamar Abd Halil, mengatakan bahwa rumah belajar yang disiapkan Pemkot Ternate belum cukup menjawab kebutuhan siswa putus sekolah.
Menurut akademisi yang dikenal dengan nama Amar Ome ini, aspek legalitas dan validasi pembelajaran menjadi persoalan utama yang harus dijamin pemerintah agar program ini benar-benar berdampak pada masa depan anak-anak.
“Rumah belajar akan relevan jika dijadikan ruang pengembangan ilmu pengetahuan. Tapi kalau tujuannya menyiapkan mereka masuk ke dunia kerja, maka itu tidak cukup representatif. Kecuali pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa pengganti ijazah, seperti sertifikat khusus,” kata Amar yang juga dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unkhair.
Lebih dari 100 Siswa Putus Sekolah di Ternate, Rencana Ditampung ke Sekolah Rakyat
Ia menekankan pentingnya legalitas dalam proses pendidikan agar siswa putus sekolah memiliki peluang yang sama ketika memasuki dunia kerja.
“Harus ada jaminan kepada mereka agar bisa menempuh kehidupan berkelanjutan,” ujarnya.
Amar juga menyoroti bahwa persoalan siswa putus sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ekonomi, keretakan rumah tangga, dan masalah psikologis. Karena itu, intervensi dari pemerintah perlu dilakukan secara terstruktur dan berbasis data.
“Pemerintah harus memiliki data yang sistematis dan terpusat agar bisa memahami persoalan masing-masing anak. Bahkan kalau perlu, dibentuk satu yayasan khusus untuk membina anak-anak putus sekolah. Maluku Utara harus bisa memulai itu,” tuturnya.
Sementara itu, Dr. Awaludin Rizal, dosen FKIP Unkhair lainnya, menyebut bahwa persoalan siswa putus sekolah di Ternate merupakan masalah sosial yang memprihatinkan. Ia menilai bahwa anak-anak seharusnya mendapatkan ruang untuk menatap masa depan dan mengembangkan diri.
“Kalau kejadian seperti ini terus berlanjut, tentu kita semua prihatin,” katanya.
Awaludin juga mengkritisi target Pemkot Ternate yang sebelumnya menargetkan penuntasan persoalan siswa putus sekolah pada 2024, namun hingga 2025 belum tercapai. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam perencanaan program.
“Pemerintah harus melibatkan para ahli, termasuk dari kalangan akademisi, dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut siswa putus sekolah. Supaya kebijakan itu punya dasar ilmiah dan bisa berjalan efektif,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.