Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara membebaskan 11 warga adat Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur yang ditetapkan sebagai tersangka setelah menolak aktivitas tambang nikel PT Position.
Muh. Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan Jatam Nasional menilai pernyataan Polda Malut yang menyebut warga membawa senjata tajam dan melakukan “tindakan premanisme” merupakan upaya pengalihan isu guna membenarkan tindakan represif aparat terhadap masyarakat.
“Artinya, polisi sedang membangun narasi bahwa masyarakat adat Maba Sangaji adalah preman. Ini merupakan tindakan kriminalisasi brutal yang dilakukan oleh negara melalui tangan-tangan aparat kepolisian terhadap warga yang tengah memperjuangkan ruang hidupnya dari ancaman perampasan,” jelas Muh. Jamil, dalam siaran pers, Senin, 19 Mei 2025.
Menurut Jamil, bagi masyarakat ada Maba Sangaji, hutan adat bukan sekadar lahan dengan pepohonnan, melainkan sumber hidup dan identitas budaya. Penangkapan terhadap 27 warga, dengan 11 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dinilainya sebagai bentuk intimidasi terhadap perjuangan masyarakat adat.
Jamil menegaskan bahwa hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam dijamin oleh konstutisi dalam Pasal 18B ayar (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Selain itu, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhadap hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
“Perlindungan terhadap hak atas lingkungan juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperjuangkan hak tersebut tanpa takut dikriminalisasi,” ungkapnya.
Penolakan terhadap PT Position telah berlangsung sejak lama. Perusahaan yang merupakan anak usaha PT Harum Energy Tbk itu diduga mengkapling hutan adat tanpa persetujuan masyarakat dan tanpa melalui proses konsultasi pra-perizinan. Selama lima tahun beroperasi, aktivitas tambang telah merusak kawasan hutan serta mencemari Sungai Pala Maba—sumber kehidupan masyarakat selama ratusan tahun.
Kerusakan juga meluas ke anak-anak sungai seperti Sungai Kaplo, Tutungan, Semlowos, Sabaino, dan Miyen. Akibatnya, masyarakat kehilangan akses terhadap sumber pangan dan pendapatan seperti ikan, udang, serta protein alami lainnya.
Selain itu, bencana banjir bandang yang kerap terjadi akibat kerusakan lingkungan menghancurkan bentang alam dan kebun-kebun warga yang menjadi penopang ekonomi masyarakat adat.
Julfikar Sangaji, Dinamisator Jatam Maluku Utara, menambahkan bahwa penangkapan terhadap puluhan warga terjadi pada Jumat, 16 Mei 2025, saat mereka menggelar aksi protes terhadap perusahaan.
Menurutnya, warga Maba Sangaji tak hanya direpresif dan ditangkap, tapi mereka juga mengalami penganiayaan saat proses pemeriksaan di Polda Malut. Masyarakat adat Maba Sangaji ditangkap ketika menuntut perusahaan hengkang dari wilayah mereka.
“Tapi kemudian polisi membangun narasi sesat yang menyudutkan mereka sebagai pelaku aksi premanisme. Artinya, polisi sedang membangun narasi bahwa masyarakat adat Maba Sangaji adalah preman. Ini merupakan tindakan kriminalisasi brutal yang dilakukan oleh negara melalui tangan-tangan aparat kepolisian terhadap warga yang tengah memperjuangkan ruang hidupnya dari ancaman perampasan,” katanya.
Ia bilang, aksi masyarakat adat Maba Sangaji ini merupakan bentuk penolakan keras terhadap perampasan tanah adat yang dilakukan oleh anak usaha PT Harum Energy Tbk tersebut. Menurutnya, perusahaan telah mengkapling hutan tanpa konsultasi dan persatuan masyarakat adat Maba Sangaji yang sudah lama menjadi sumber kehidupan.
“Langkah warga dalam menghentikan aktivitas tambang adalah bentuk pembelaan hak yang dijamin oleh konstitusi, bukan tindakan kriminal seperti yang dituduhkan pihak kepolisian,” tandasnya.
Sebelumnya, Kombes Pol. Bambang Surhayono, Kabid Humas Polda Maluku Utara, mengatakan warga yang melakukan aksi penolakan tambang nikel PT Position membawa senjata tajam dan merampas 18 kunci alat berat milik perusahaan.
“Tindakan yang dilakukan tersebut menunjukan aksi premanisme yang meresahkan masyarakat dan investasi,” jelas Bambang dalam siaran pers, Senin, 19 Mei 2025.
“Barang bukti yang diamankan dari puluhan massa aksi tersebut berupa 10 buah parang, 1 buah tombak, 5 buah ketapel, 1 buah pelontar panah dan 19 busur anak panah serta beberapa alat pendukung lainnya seperti spanduk, terpal, dan ranting yang digunakan untuk membuat camp,” tambah Bambang.
Dari 27 warga yang ditangkap dan diperiksa Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Malut, 11 warga ditetapkan sebagai tersangka, diantaranya berinisial HI, HL, JH, AS, JB, NS, YHS, SA, SM, UM, dan S.
Penetapan tersangka menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No.12/1951 membawa sajam tanpa hak dengan ancaman 10 tahun; Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Minerba karena merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin dengan ancaman pidana 1 tahun; dan Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, atas dugaan tindak pidana pemerasan dan pengancaman.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.