Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara mengecam tindakan represif dan kriminalisasi aparat terhadap masyarakat adat Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur. Warga ditangkap saat melakukan aksi penolakan aktivitas tambang nikel PT Position di wilayah hutan adat.
Astuti N. Kilwouw, manager program Walhi Maluku Utara menegaskan bahwa masyarakat Maba Sangaji hanya berupaya mempertahankan tanah ulayat dari ancaman perampasan oleh perusahaan tambang. Namun, alih-alih dilindungi, mereka justru mengalami kekerasan dan kriminalisasi yang menurutnya berlangsung secara struktural oleh negara dan korporasi.
“Kita mengancam tindakan represif dan kriminalisasi yang dilakukan pihak kepolisian dalam hal ini, Polda Maluku Utara,” kata Astuti kepada reporter Kadera, di kantor Walhi Malut, Selasa, 20 Mei 2025.
Astuti menyebut bahwa penangkapan terjadi saat warga sedang menyampaikan aspirasi menolak tambang yang merusak wilayah hutan adat mereka. Ia menduga, penangkapan tersebut dilakukan tanpa surat resmi dan ilegal.
Ia mendesak Polda Maluku Utara untuk meninjau kembali penetapan 11 warga sebagai tersangka, yang dituduh membawa senjata tajam dan mengambil kunci alat berat milik perusahaan.
“Warga [warga yang dibebaskan] mengaku tidak membawa pelontar dan busur panah sama sekali seperti narasi dari pihak kepolisian. Dorang hanya bawa parang. Selain itu, trada [tidak ada] keterangan dorang [warga yang dibebaskan] mengambil 18 kunci alat berat. Mungkin bisa jadi, bukti yang diada-adakan,” ungkap Astuti.
Menurut dia, parang yang dibawa warga digunakan untuk melintasi hutan–baik sebagai alat perlindungan dari binatang buas maupun membuka jalur menuju lokasi dan pembuatan camp. Sebab, aksi penolakan sendiri dilakukan dengan cara berkemah beberapa hari sejak Jumat hingga Sabtu, dan pada Ahad, 18 Mei 2025, warga menggelar aksi damai di lokasi.
Namun, setelah menyampaikan tuntutan, aparat keamanan langsung melakukan penangkapan. Warga dipukul, diborgol, lalu dibawa dari lokasi ke Sofifi hingga ke Ternate–di Ditreskrimum Polda Malut. Dari 27 orang yang ditangkap, 11 ditetapkan sebagai tersangka dan 16 lainnya dibebaskan.
Sebelas warga yang dijadikan tersangka diketahui berinisial HI, HL, JH, AS, JB, NS, YHS, SA, SM, UM, dan S.
Penetapan tersangka menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No.12/1951 membawa sajam tanpa hak dengan ancaman 10 tahun; Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Minerba karena merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin dengan ancaman pidana 1 tahun; dan Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, atas dugaan tindak pidana pemerasan dan pengancaman.
Astuti menyamakan perlakuan polisi terhadap warga Maba Sangaji dengan tahanan politik.
“Kalau di zaman dulu dorang [warga] ini tahanan politik. Karena dorang mempertahankan dong pe tahan. Terus disebut sebagai preman. Yang preman itu siapa di sini? Dong [warga Maba Sangaji] aksi bukan di kota, tapi di hutan. Orang pasti bawa parang untuk buka jalan untuk pertahanan di hutan. Kenyataanya, warga tidak dapat represif dari binatang buas, tapi justru direpresif negara dalam hal ini, pihak kepolisian,” jelas Astuti.
Bagi dia, apa yang terjadi di Maba Sangaji, adalah satu bagian kecil dari rentetan peristiwa yang serupa di Maluku Utara. Dan, tentu ada keterlibatan pemerintah yang secara serampangan memberikan izin konsesi di tanah adat di Haltim dan bermasalah. Karena itu, ia mendesak cabut semua IUP perusahaan yang bermasalah di Haltim.
“Ini berhubungan dengan UU Minerba, Omnibus Law dan beberapa UU lainnya yang mencerminkan bagaimana tong [kita] pe [punya] pemerintah saat ini sangat pro modal dan asa upaya resentralisasi. Kementerian kasih izin konsesi ke Haltim, tapi menterinya tidak pernah sampai di Haltim. Tra [tidak] pernah lihat, tapi dia mengatur.”
“Kita mendesak cabut IUP di Haltim,” tegas Astuti.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.