Puluhan massa menggelar Aksi Kamisan Ternate ke-45, pada Kamis, 22 Mei 2025 di depan Landmark Kota Ternate. Dalam aksi tersebut, mereka mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara agar segera membebaskan 11 warga Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur (Haltim) yang ditetapkan sebagai tersangka usai menolak aktivitas pertambangan PT Position di tanah adat mereka.

Irawati Harun, koordinator aksi, mengatakan bahwa aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap warga Maba Sangaji yang mempertahankan hak atas tanah adatnya. Menurutnya, dasar penetapan tersangka oleh Polda Malut tidak jelas, sebab, warga membawa parang sudah biasa ketika pergi ke hutan sebagai alat kerja.

“Jadi tuntutan utama kami, sejalan dengan warga Maba Sangaji dan 11 tahanan politik soal usir PT Position. Yang kedua, tentunya bebaskan tahanan politik, karena mereka tidak bersalah sama sekali,” kata Irawati kepada reporter Kadera saat diwawancarai, Kamis, 22 Mei 2025.

Menurut Ira, penangkapan terhadap 11 warga sebagai bentuk keberpihakan aparat terhadap kepentingan korporasi tambang. Apalagi menyebarkan narasi bahwa warga penolak tambang adalah preman–yang justru sangat keliru.

Alih-alih fokus pada akar masalah, yaitu penolakan warga terhadap operasi tambang di tanah adat, Polda justru menggiring lagi isu ke rana narkoba. Irawati sebut, hal itu bentuk pengalihan isu yang sudah sering terjadi di berbagai konflik agraria.

“Harusnya fokus pada soal apa yang menjadi biang kerok [masalah konflik lahan adat], kenapa warga jadi aksi begitu. Bukan fokus ke hal-hal yang sebenarnya tidak mendasar begitu.Bukan ke fokus utama. Jadi tentu, kalau dibilang pengalihan isu, ya jelas sekali ini pengalihan isu,” kata Irawati.

Menurutnya, sikap aparat yang serampangan juga diperparah dengan tidak adanya keberpihakan dari pemerintah, baik di tingkat provinsi Maluku Utara maupun daerah Kabupaten Halmahera Timur.

“Kita tidak percaya pada Pemprov Malut maupun Pemda Haltim. Bahkan ketika warga ditangkap ini saja, pemerintah desa (Pemdes) setempat mengeluarkan surat pernyataan yang sama sekali tidak memihak warga mereka,” ujarnya.

Sementara itu, Amin Yasin, salah satu massa aksi yang juga warga Maba Sangaji, menyuarakan tuntutan serupa. Ia menegaskan bahwa memertahankan tanah adat adalah hak setiap warga.

“Tuntutan kami, bebaskan 11 warga Maba Sangaji yang ditahan di Polda Malut di Rutan. Karena mempertahankan tanahnya sendiri,” kata Amin dalam orasinya, yang juga sebagai pemuda Maba Sangaji.

Amin mengatakan tahan adat di Maba Sangaji merupakan warisan untuk anak cucu. Tetapi sekarang digerus oleh perusahaan secara sewenang-wenang.  “Kita minta 11 warga harus dibebaskan tanpa syarat.”

Sekadar diketahui, Kepolisian Daerah Maluku Utara menangkap 27 warga Maba Sangaji dan menetapkan 11 orang di antaranya sebagai tersangka dengan alasan ‘premanisme’ menghalangi aktivitas tambang nikel di Halmahera Timur. Padahal, warga memastikan bahwa tindakan aksi tersebut bukan premanisme melainkan perjuangan melindungi wilayah adat dari kerusakan akibat tambang.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darutat No.12/1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin, Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena merintangi kegiatan pertambangan yang telah berizin dengan ancaman pidana penjara 1 tahun, kemudian Pasal 368 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena diduga memeras dan mengancam.

Polda Malut juga menyebut bahwa tiga dari sebelas warga yang ditahan dinyatakan positif narkoba.

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter