Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Maba Sangaji Menggugat menggelar demonstrasi di depan Kantor Bupati Halmahera Timur, pada Kamis, 22 Mei 2025. Aksi ini menuntut sikap Bupati Haltim Ubaid Yakub, atas penahanan 11 warga Maba Sangaji oleh Kepolisian Daerah Maluku Utara.
Bahdin Abbas, koordinator aksi, mengatakan bahwa sekitar 300 warga turun langsung dari Maba Sangaji menuju kantor bupati. Mereka mendesak Ubaid untuk segera menyatakan sikap membela dan mendesak pembebasan warganya yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Malut.
“Tujuan kita meminta sikap Bupati Haltim segera bebas lepaskan 11 masyarakat adat Maba Sangaji yang sampai saat ini masih ditahan,” kata Bahdin, saat dikonfirmasi reporter Kadera, pada Kamis, 22 Mei 2025.
Namun, setibanya massa di kantor bupati, Ubaid Yakub tidak berada di tempat. Massa pun memberi tenggat waktu 1×24 jam kepada Ubadi untuk menanggapi tuntutan mereka. Jika tidak ada respons, alinasi mengancam akan kembali turun dengan massa yang lebih besar.
“Karena itu, satu dua hari kedepannya, jangan lagi alasan ini itu. Tapi memang kami secara tegas dan tidak main-main. Jika tuntutan kami tidak diindahkan ini menjadi seruan ajakan kita akan memperlihatkan apa menjadi kelalaian dair Pemda ini sendiri dalam menindak lanjuti masyarakat. Saya selaku koordinator aksi, tidak mempertanggung jawabkan, apalagi yang akan terjadi setelah ini,” tegasnya.
Arjun Adam, salah satu peserta aksi, menegaskan bahwa tuntutan utama mereka adalah pembebasan 11 warga Maba Sangaji tanpa syarat. Ia juga meminta Polda Malut untuk menangani kasus ini secara profesional dan tidak mengalihkan isu ke hal lain.
“Polda Maluku Utara dalam menangani ini harus profesional. Sehingga permasalahan ini dia tra [tidak] bias kesana kemari. Sebenarnya apa yang diusut, apakah kasus narkoba atau soal tindakan yang kemudian yang disebut Polda itu sebagai premanisme,” kata Arjun.
Arjun menilai, membawa parang ke kebun adalah hal wajar bagi petani. Apalagi kondisi hutan di Maba Sangaji terbilang rawan, dan warga kerap mengantisipasi ancaman dari orang tidak dikenal.
“Orang pergi di kebun kan tra [tidak] mungkin bawa pena. Apalagi hutan Maba Sangaji ini dia rawan. Pernah kan di Haltim terjadi kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal (OTK). Bawa Sajam itu sebagai bentuk antisipasi untuk melindungi dong [mereka] pe [punya] diri ketika terjadi apa-apa di hutan. Tong [kita] pikir itu hal wajar orang pergi kebun bawa parang,” bebernya.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.