SEPEDA MOTOR matic berhenti di bawah pohon cempaka. Dua pria turun, salah satunya–berjaket dan berewok–melangkah santai menuju sebuah bivak sederhana. Di dalamnya, Ibu Nani Jekia sudah menunggu di balik meja kayu.

“Assalamualaikuuum, lama e…” sapa Nani ramah.

“Walaikumsalaaam, io ni…” jawab pria itu dengan senyum tipis. Ia datang berziarah ke makam keluarganya.

“Mama e… di sana to dia barumpu bahaya,” sambung Nani, memperingatkan bahwa makam yang dituju. Percakapan itu terdengar akrab–mereka tampaknya saling kenal.

Sebelum menuju kubur, pria itu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. Tanpa banyak bicara, ia mengambil sebotol air dan dua kantong daun pandan yang berjajar di atas dipan kayu.

Nani mengamatinya dari balik bivaknya yang ditopang balok lapuk, beratap seng, dan terpal bekas. Tempat jualannya berdiri di bawah pohon telur besar, tak jauh dari makam Salahuddin bin Talabuddin, tokoh Merah-Putih dari Halmahera Tengah yang dieksekusi Belanda pada 6 Juni 1948.

Pekan ini, dagangan Nani banyak rusak terguyur hujan. Ia sudah merugi ratusan ribu. Tapi seperti biasa, ia tetap menanti para peziarah–pelanggan yang ia hafal wajah dan wataknya.

Lelaki tadi kembali. Ia mengambil tambahan tiga kantong pandan sebagai ganti uang kembalian. Ia hanya satu dari sekian pelanggan Nani–perempuan 40 tahun yang menghidupi dua anak dari jualan pandan dan jasa bersih kubur di pekuburan Islam, Kelurahan Kampung Makassar Barat, Kota Ternate.

Dua pedagang mendatangi bivak milik Ibu Nani di lingkungan pemakaman Islam Kampung Makasar Barat. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

Sejak ditinggal mati sang suami, Nani menekuni beragam pekerjaan: tukang ojek, pekerja bengkel, pengasuh anak, hingga jualan minyak cempaka–bahkan sempat bergelut ke dunia bisnis batu bacan. Tapi semua itu tak membuatnya tenang.

Ia kembali ke pekerjaan warisan mendiang ibunya: menjual daun pandan. Bagi Nani, ini bukan usaha kecil, melainkan ladang ibadah: kerja dunia-akhirat, penuh ketabahan, tawakal, dan sabar yang tiada batasnya!

Namun, sabar saja tak cukup. Cuaca dan musim ziarah menentukan nasib jualanya. Jika hujan turun Kamis sore–waktu favorit ziarah kubur–dagangannya bisa tak laku sebiji pun.

“Kalau Kamis sore kong ujang tu samua penjual dari ujung pukul ujung fatal, parah sekali memang, depe suasana kayak hari biasa saja. Sunyi. Tarada orang yang datang, tarada pondak yang laku,” tambah Nani yang sudah berulang kali mengalami sial seperti itu.

Bivak dan kantong berisi potongan daun pandan milik Ibu Nani di lingkungan pemakaman umum Islam Kampung Makasar Barat. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

Harga satu ikan pandan ia beli Rp200 dari petani. Untung baru terasa kalau habis terjual.

Usaha pandan ini dimulai belasan tahun lalu oleh kelompok ibu-ibu janda dalam wadah Dasawisma. Dulu belum ada penjual pandan di pasar Gamalama, semua berjualan di kuburuan. Harga per kantong Rp5.000, dan distribusi datang dari agen di Fitu atau Gambesi.

Nani juga menerima jasa bersih makam mingguan. Pelanggan menitipkan uang saat membeli pandan, kadang Rp50 ribu tanpa kembalian. Ada juga yang memberi tugas rutin: bersihkan kubur dan tabur 2 tas pandan setiap Kamis.

Tapi bayarannya tak seberapa. Sebab, ia mesti memenuhi kebutuhan rumah, dan pendidikan anak-anaknya.

“Memang bagitu sudah. Namanya mencari di kubur ni mencari dunia-akhirat,” katanya bangga, sebelum dua pedagang lain mempir ke bivaknya.

Kantong berisi potongan daun pandan milik pedagang di lokasi pemakaman umum Islam Kampung Makasar Barat. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

**

NASIB serupa dialami Ibu Mardiani, 36 tahun, ibu tiga anak yang berjualan dekat makam Sultan Mahmud Badaruddin II–penguasa Palembang yang wafat di Ternate pada 1852. Ia tak punya pekerjaan lain, hanya mengandalkan peziarah dan momen keagamaan: Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha.

“Saya punya beberapa pelanggan yang suruh kasih bersih kubur.  Ada yang kase (bayar), ada juga yang tarada, bahkan cuman berterima kasih, hahaha….Bagitu sudah tong bajual ni, yang penting dong beli tong pe pondak,” katanya, ditemani dua anak balitanya.

Soal pendapatan dari jualan pandan tidaklah pasti—semua bergantung pada orang yang datang ziarah, kata Mardiani.

“Kalau misalnya orang ramai, ya, alhamdullah. Karena satu ika pondak kan biasa tong beli Rp150 ribu. Nah, satu ika kong laku semua tu bisa 400-500 ribu. Tergantung lagi to kalau orang ramai,” katanya.

Puncak rezeki biasanya saat malam takbiran atau lebaran. Mardiani biasanya menjual empat ikat lebih dan meraup untung sampai Rp3-4 juta sekali momen.

“Jadi pas momen tong so kase siap pondak deng ika-ika. Ada yang empat ika, ada yang lebih dari itu,” lanjut Mardiani yang tampak tenang menghadapi rengekkan anak bungsunya.

Ia memulai usaha ini lima tahun lalu, dan mengakui ada penjual yang sudah jauh lebih dulu.

“Yang Nene-nene tu, itu dong so bajual lama skali,” katanya singkat.

Perempuan 75 tahun itu tampak duduk tenang di bivak kecil, mengunyah pinang. Ia sudah 20 tahun berjualan pandan di pekuburan ini.

Ia menjawab singkat setiap pertanyaan yang diajukan dengan suara yang terpotong-potong oleh bunyi klakson yang melintas. Nyaris tidak terdengar kalau tidak diulangi.

“Pondak satu tas bagini dong Mama jual berapa ribu?” tanya saya.

“sepuluh,” jawabnya singkat.

“Dong Mama pe nama sapa?”

“Nur…ia,” suaranya terpotong oleh klakson sepeda motor yang melintas.

“Ya?”

“Nursia,” jawabnya keras dengan rahang tidak tenang.

“So berapa lama dong Mama bajual pondak?”

“20 tahun,” jawabnya lagi.

“Sebelumnya dong mama bajual apa?”

“Kui-kui. Lapis tidore, roti, apang, donat,” katanya, menyebut deretan kue jadul.

**

Deretan dagangan daun pandan di depan Pasar Higienis Gamalama, Kota Ternate. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

Di luar kompleks pekuburan, para penjual pandan juga tersebar di depan Pasar Higienis, Gamalama. Sebagian besar adalah perempuan, datang sejak sebelum azam subuh. Salah datunya Cik Eba, 50 tahun, warga Kastela.

Cerita mereka nyaris sama: musim hujan adalah musuh utama, dan Ramadan adalah momen menuai. Di balik daun-daun pandan yang dibawa mereka setiap hari, ada harapan, ketabahan, dan ikhtiar panjang untuk bertahan hidup–di antara batu-batu nisan. []

Rabul Sawal
Editor
Rajuan Jumat
Reporter