Gerakan Save Sagea menggelar aksi di perairan Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, Kamis, 29 Mei 2025. Menggunakan dua perahu, para aktivis membentangkan spanduk bertuliskan “Hatam 2025: IWIP Racuni Laut Kami” dan “Kawasan Karst Sagea Tidak untuk Ditambang”, dengan latar cerobong asap pembangkit listrik batubara milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Mardani Hardi, koordinator aksi, mengatakan kampanye ini digelar untuk memperingati Hari Anti Tambang (Hatam), sekaligus menjadi bentuk peringatan atas pencemaran lingkungan laut dan sungai akibat aktivitas industri nikel di kawasan Teluk Weda.
“Torang [kita] dari Save Sagea juga berinisiatif untuk lebih tekan ke publik terkait situasi laut di kawasan industri bahwa sedang tidak baik-baik saja. Aksi kampanye ini berlangsung di depan Pelabuhan Sagea,” kata Mardani kepada Kadera pada Kamis, 29 Mei 2025.
Mardani mengatakan sudah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa perairan laut Teluk Weda terkontaminasi logam beracun dari aktivitas industri nikel. Salah satu penelitian terbaru–yang ramai dibicarakan saat ini–yaitu dari riset Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako.
Studi tersebut menemukan–salah satunya–bahwa seluruh sampel ikan yang dikumpulkan dari Weda Bay mengandung merkuri dan arsenik dalam berbagai konsentrasi. Berdasarkan peraturan Badan Obat dan Makanan (BOPM), empat sampel ikan melebihi batas maksimum kontaminasi arsen total sebesar 2 mg/kg, sementara tujuh sampel lainnya mengandung atsen dalam kisaran 1-2 mg/kg.
Studi juga menguji puluhan sampel darah pekerja pekerja PT IWIP dan warga sekitar kawasan industri nikel di Weda dan menemukan terkontaminasi dua logam berat merkuri dan arsenik hingga melebih ambang batas aman.
“Pemeriksaan konsentrasi logam berat dalam darah menunjukkan bahwa 22 individu (47%) memiliki kadar merkuri yang melebihi batas aman sebesar 9 µg/L. Sebagai perbandingan, 15 individu (32%) memiliki kadar arsen yang melebihi batas aman sebesar 12 µg/L dari total 46 responden masyarakat yang berpartisipasi dalam studi ini. Kadar merkuri dan arsen dalam darah cenderung lebih tinggi pada warga yang bukan pekerja di kawasan industri IWIP,” catat penelitian tersebut.
Menurut Mardani, informasi ini belum diketahui secara luas oleh warga. Nelayan, katanya, masih melaut seperti biasa dan masyarakat tetap mengonsumsi ikan yang berpotensi tercemar tersebut.
“Untuk sementara mereka (warga) masih mengonsumsi ikan. Karena informasi untuk logam berat ini kan belum sepenuhnya diketahui warga juga to. Jadi nelayan tradisional di kawasan industri seperti biasa masih melaut di perairan yang sudah tercemar,” ungkap Mardani.
Mardani mengatakan temuan penelitian itu sangat penting untuk disosialisasikan kepada warga yang berada di desa-desa wilayah kawasan industri nikel demi keselamatan dan kesehatan warga.
“Sejauh ini toang [kita] belum tahu soal sosialisasi dari perusahaan, pemerintah daerah dan provinsi. Tapi, torang [kita] dari Save Sagea targetnya untuk kampanye di kawasan industri yang terindikasi logam berat,” tuturnya.
Selain pencemaran yang terjadi di perairan sekitar industri pertambangan, menurut Mardani, beberapa juga sudah tercemar permanen. Seperti Sungai Kobe, Sungai Akedoma, Sungai Akesake, dan Sungai Waesa.
“Itu sudah tidak lagi bisa dikonsumsi karena sudah tercemar permanen. Sekarang untuk Sungai Sagea juga tidak dikonsumsi untuk minum, hanya saja masih dimanfaatkan untuk mencuci dan mandi,” ucapnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.