Gerakan Save Sagea menggelar aksi protes dalam rangka memperingati hari anti tambang (Hatam), di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, Kamis, 29 Mei 2025. Dalam aksi tersebut, mereka mendesak pencabutan seluruh izin usaha pertambangan (IUP) yang berada di kawasan karst dan aliran sungai Desa Sagea dan Kiya.
Mardani Hardi, koordinator aksi, mengatakan bahwa Save Sagea merupakan gerakan perlawanan warga terhadap ekspansi tambang yang mengancam kawasan karst Bokimaruru dan Telaga Legaelol. Menurut dia, wilayah ini tak hanya penting secara ekologis, tetapi juga menjadi sumber kehidupan masyarakat.
“Torang dari Save Sagea menuntut semua IUP yang di Desa Sagea yang bertempat di kawasan Gua Bokimoruru dan Telaga Legaelol. Karena di Kawasan Bokimoruru ada PT Gamping Indonesia, dan di kawasan Telaga Legaelol ada PT MAI dan PT Karunia Sagea Mineral yang nanti akan beroperasi. Itu yang menjadi tuntutan prioritas,” jelas Mardani kepada Kadera melalui sambungan telepon, Kamis tadi.
Ia menyebutkan, kehadiran sejumlah perusahaan tambang di dua desa tersebut berpotensi besar merusak ekosistem serta mengancam ruang hidup warga. Menurutnya, kawasan karst Bokimaruru sangat rentan, dan sejak 2018 PT Gamping Indonesia sudah memiliki konsesi yang berada tepat di kawasan gua.
Mardani mengklaim bahwa pencemaran sudah terjadi akibat aktivitas penambangan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang berlokasi di hulu Gua Bokimaruru. Sejak 2023, katanya, warga terus menyuarakan penolakan melalui gerakan Save Sagea. Ia menyebutkan, kondisi sungai masih tetap keruh setiap kali hujan turun.
“Sekarang penekanan kami dari Save Sagea, dari pemerintah dua desa: Sagea dan Kiya dan kecamatan, jangan coba-coba bertemu dengan pihak perusahaan untuk membahas dengan izin konsesi,” katanya.
Meski begitu, dia mengaku belum mengetahui secara pasti sikap resmi Pemerintah Desa Sagea dan Kiya terhadap keberadaan IUP di wilayah mereka. Hingga kini, kata dia, belum ada kejelasan.
“Harapannya, selain memperingati Hatam sedunia, kami meminta kepada Pemerintah Desa Sagea dan Kiya, serta Pemerintah Daerah Halmahera Tengah (Halteng) dan Provinsi Maluku Utara agar secepatnya mengevaluasi beberapa IUP yang ada di Desa Sagea dan Kiya. Karena dapat mengancam ruang hidup dan potensi-potensi yang ada di dua desa itu,” terang Mardani.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.