Tepat 100 hari sejak dilantik sebagai Gubernur Maluku Utara pada 20 Februari 2025, Sherly Tjoanda–bersama wakil gubernur Sarbin Sehe–dinilai gagal menjaga keselamatan ruang hidup warga. Di bawah kepemimpinannya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, mencatat kerusakan lingkungan dan praktik kriminalisasi terhadap warga yang menolak ekspansi tambang nikel makin meluas.

“Dalam 100 hari kerjanya, ia tak hanya sibuk memoles citra kekuasaan dari pelbagai kebijakan populis yang diproduksi. Dia juga memoles konten-kontennya di media sosial, tercermin dari konten-konten populis yang secara terorganisir disebarluaskan di jagat maya dan menjadi konsumsi publik luas,” kata Julfikar Sangaji, Dinamisator Jatam Maluku Utara, dari siaran pers, Jumat, 30 Mei 2025.

Di balik perjalanan politik ‘pencitraan’ 100 hari kerjanya, kata Julfikar, sesungguhnya dibarengi dengan sederet peristiwa-peristiwa pilu. Peristiwa-peristiwa yang disebut sebagai kejahatan dari praktik pembungkaman negara-korporasi terhadap warga yang berjuang atas lingkungan hidup dan keselamatan kampung–termasuk untuk generasi masa depan.

Salah satu kasus yang mencuat baru-baru ini adalah konflik pertambangan nikel dengan warga di Maba Sangaji, Halmahera Timur. Warga desa memprotes pencemaran Sungai Sangaji yang dulunya menjadi sumber pangan dan air bersih. Hulunya kini dipenuhi endapan ore nikel dari aktivitas pertambangan PT Weda Bay Nickel dan PT Position. Sungai berubah warna menjadi merah kecokelatan, ikan dan udang tak lagi hidup di dalamnya.

Pada 18 Mei 2025, warga menggelar aksi memblokir aktivitas PT Position–sebuah tambang nikel di bawah usaha PT Harum Energy Tbk–di kawasan hutan adat. Namun, saat ritual protes berlangsung, aparat keamanan mengepung dan menangkap mereka. Sebanyak 11 warga Maba Sangaji kini ditahan dan dijadikan tersangka oleh Polda Maluku Utara. Aparat juga melabeli perjuangan warga sebagai aksi “premanisme”.

“Mereka melabelkan perjuangan, yang sesungguhnya untuk menyelamatkan ruang hidup warga, sebagai aksi premanisme. 11 orang warga masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Ternate. Hingga kini, gelombang solidaritas yang mendesak pembebasan warga tanpa syarat kian menguat dan meluas,” jelas M. Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institut dan warga Halmahera Timur.

Kekerasan serupa, tambah Said, terjadi di Maba Tengah, masih di Halmahera Timur. Warga menolak keberadaan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) yang disebut menyerobot lebih dari 25 hektare wilayah adat Wayamli.

Aksi warga pada 28 April itu ungkap Said, dibalas dengan gas air mata dan tindakan represif, menyebabkan tiga orang luka. Puluhan warga mendapat surat panggilan dari polisi, sementara perusahaan justru membangun jetty tanpa dokumen lingkungan, dikawal aparat.

Rapat pemerintah: mewakili siapa?

Pada 30 April 2025, rapat yang digelar di Kantor Gubernur Maluku Utara menghadirkan wakil gubernur, kapolda Malut, bupati Halmahera Timur, serta Direktur PT STS. Alih-alih memihak warga, rapat ini menghasilkan tujuh poin keputusan yang justru memperkuat posisi perusahaan tambang. Pemerintah provinsi tidak menindak pelanggaran lingkungan yang dilakukan korporasi.

“Di bawah wewenang Sherly, keputusan yang diambil secara arogan mengorbankan keselamatan warga Maba dan Maba Tengah,” jelas Julfikar.

Selain itu, Gubernur Maluku Utara ini semakin menampakan dirinya yang sebenarnya, kata Julfikar. Sherly disebut tidak hanya berperan sebagai centeng korporasi, tapi juga sebagai seorang pebisnis termasuk industri ekstraktif.

Salah satunya terkait komentar Sherly dalam kasus konflik warga Maba Sangaji dengan PT STS, pada 25 Mei 2025 bahwa, “Karena investasi harus dijaga agar iklimnya stabil. Keamanan stabil itu penting untuk kita bisa menjaga pertumbuhan ekonomi kita tetap dua digit.” Ihwal iklim investasi yang harus dijaga supaya stabil serta keamanan di wilayah pertambangan, semata-mata demi pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tetap dua digit.

“Pernyataan Sherly ini sekaligus menunjukkan watak asli dari para pengekstrak, mereka senantiasa meraup keuntungan di atas kerusakan yang tiada pulih. Di saat yang sama juga, dengan culasnya mendegungkan atas dan demi “kemajuan ekonomi” yang tanpa henti digaungkan sebagai mantra dari sihir yang paling mujarab,” terang Julfikar.

Data Jatam bersama koalisi menunjukan bahwa Sherly memiliki perusahaan nikel bersama PT Karya Wijaya di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, yang baru-baru ini mendapat perpanjangan izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia juga memiliki perusahaan tambang pasir besi dan mineral di Desa Wooi, Pulau Obi, Halmahera Selatan–juga terafiliasi dengan PT Bela Sarana Permai dengan konsesi seluas 4.290 hektare yang menduduki wilayah Wooi.

“Celakanya, pendudukan konsesi mencakup seluruh pemukiman warga. Warga dengan keras menolak perusahaan dan mendesak untuk hengkang,” kesal Julfikar.

Kenyataan berbanding terbalik dengan janji

Sherly sempat menyuarakan komitmen lingkungan saat debat publik pada 19 November 2024. Ia menyatakan akan merehabilitasi lingkungan Teluk Weda dan Teluk Buli dari kerusakan akibat tambang. Namun, kenyataan bertolak belakang.

Di Teluk Weda, laporan Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako baru-baru ini menunjukan bahwa warga setempat di Teluk Weda dan buruh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah terpapar dan terkontaminasi dengan dua logam berat yakni merkuri dan arsenik yang melebihi ambang batas. Di Pulau Obi, investigasi kolaboratif oleh The Gecko Project, OCCRP, DW, News Tapa dan The Guardian, mengungkap air minum warga terkontaminasi karsinogenik kromium-6 dari operasi Harita Nickel.

“Pernyataan yang diucapkan Shery dalam debat itu, tak bisa dipegang, dan hanyalah pepesan kosong. Kami mengamati perjalanan 100 hari kerja Sherly justru mengkonfirmasi bahwa ia senantiasa menghindar dari persoalan krusial yang dihadapi warga saat ini: krisis sosial-ekologis yang didalangi oleh operasi pertambangan serta gempuran industri nikel yang kian buas,” jelas Julfikar.

Redaksi
Editor
Redaksi
Reporter