Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku Utara, Fauji Momole, menyatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan langkah taktis menyikapi temuan kontaminasi logam berat di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Jika terbukti hasil tangkapan nelayan di perairan sekitar kawasan industri nikel mengandung logam berat seperti merkuri atau arsenik, maka aktivitas nelayan di titik-titik tertentu akan diberhentikan sementara.
“Di titik tertentu, dipastikan ikan yang tertangkap situ tercemar, terkontaminasi [logam berat], maka di kawasan itu, sementara waktu kita hentikan, kita tutup aktivitas nelayan di situ,” kata Fauji kepada wartawan, Kamis, 29 Mei 2025.
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut masih dalam tahap kajian dan bergantung pada kepastian ilmiah dari hasil riset. DKP belum bisa bertindak sebelum ada validasi terhadap koordinat-koordinat yang disebutkan dalam temuan lembaga riset independen Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako.
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa sampel ikan yang dikumpulkan dari perairan kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) mengandung merkuri dan arsenik. Sementara, pada sampel darah pekerja dan warga di sekitar kawasan industri nikel, juga ditemukan terkontaminasi duga logam berat tersebut melebih batas aman.
Fauji menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan memberikan sanksi terhadap korporasi. Sebab, menurutnya, urusan perizinan ada di pemerintah pusat, sementara utusan lingkungan domainnya Dinas Lingkungan Hidup. DKP hanya memberikan rekomendasi terkait pengelolaan, termasuk penataan IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) jika memang belum sesuai prosedur.
Meski demikian, ia menyatakan bahwa DKP akan terus berkoordinasi dan melapor ke pimpinan daerah mengenai perkembangan situasi ini. Ia juga menyebut bahwa perusahaan tambang yang menyasar pasar global seharusnya sudah memenuhi syarat pengelolaan limbah sesuai standar.
Terkait risiko bagi masyarakat, Fauji menyebut kekhawatiran utama adalah jika ikan hasil tangkapan nelayan terkontaminasi logam berat masuk ke rantai pasar dan dikonsumsi oleh publik secara luas. Maka, katanya, harus ada skema alternatif jika aktivitas nelayan diberhentikan sementara.
“Sementara waktu kita hentikan, kita tutup aktivitas nelayan, tapi tentu kita harus berfikir bagaimana ketika kebijakan ini kita lakukan, perlu cari solusi alternatif untuk itu,” tambahnya.
Soal kebijakan larangan konsumsi ikan dari kawasan terdampak, Fauji menyebut masih perlu kajian lebih dalam. Sehingga, kebijakan penghentian sementara hanya berlaku bagi nelayan, bukan bagi korporasi industri yang diduga melakukan pencemaran.
“Bukan, bukan, bukan, [penghentian sementara] ini terkait aktivitas nelayan, karena takutnya jangan sampai dari hasil penangkapan oleh nelayan-nelayan kecil kita itu terlepas dari mereka mengonsumsi sendiri ini ini juga mengakses pasar,” jelas Fauji.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.