Pagi baru saja mekar di ufuk timur Ratahaya. Sinar matahari merambat pelan melalui sela-sela atap daun sagu yang telah mengering, menyusup masuk ke sebuah rumah panggung mungil berdinding papan dan beratap rumbia, seolah memberi salam kepada penghuninya.

Di sudut lantai kayu yang dingin, seorang perempuan bernama Nunce, 40 tahun, duduk bersila. Kaki kanannya menjulur santai, sementara kaki kirinya dilipat tenang seperti dalam doa panjang yang tak pernah selesai. Di tangannya, sehelai daun sagu segar, yang baru sehari lalu dipetik dari pohonnya yang menjulang di hutan kecil tak jauh dari pemukiman.

Ia menggenggam saloso—sepotong bambu muda yang lentur, telah diolah menjadi alat penyulam atap. Dengan jemari yang sudah mengenal irama kerja sejak lama, ia mulai menjalin daun sagu ke anyaman bambu buatan tangan suaminya. Satu demi satu, dengan gerak lambat namun pasti, daun-daun itu berubah menjadi helaian atap—warisan tradisi, lambang ketekunan yang menua bersama waktu.

Bahan daun sagu hingga bambu dan hasil jahitan atat daun Rumbia. Foto: Risto Sangaji/kadera.id

Nunce adalah bagian dari Suku Siboyo, warga Taliabu pedalaman yang telah menetap di Desa Ratahaya, Kecamatan Taliabu Barat, sebelum tempat itu resmi menyandang status desa. “Sudah bertahun-tahun saya menjahit atap,” katanya lirih, saat ditemui pada Kamis, 29 Mei 2025, tapi matanya menyala dengan semangat yang tidak lekang oleh waktu. “Satu hari bisa sampai 20 lembar. Kalau tidak sedang urus anak-anak ke sekolah, bisa lebih, sampai 30.”

Bahan-bahan untuk menjahit itu bukan datang dari pasar atau toko. Suaminya yang menyusuri jalan setapak hingga 1,4 kilometer ke sekitar Rumah Sakit Bobong demi mengumpulkan daun sagu yang layak. Ia memikulnya—kadang dua hingga tiga ikat, lalu kembali dengan langkah berat dan peluh yang meleleh, tak jauh dari lelah.

“Kalau tempat itu nanti dibangun,” kata Nunce, “mungkin tidak bisa lagi ambil daun sagu dari sana.” Suaranya seperti angin yang tertahan di sela batang bambu.

Suaminya tak hanya pencari bahan, tapi juga penjahit. Namun sering kali tangannya lebih dahulu harus bercumbu dengan tanah—mengurus kebun kasbi, pisang, ubi, dan sayur. Kala tak di ladang, keduanya duduk berdampingan, menjahit daun demi daun, merenda hari-hari.

“Kalau suami saya bawa pulang 3-4 ikat, satu ikat bisa jadi 28 sampai 30 bengkawan,” ujar Nunce. Mereka bisa menjahit hingga 60 bengkawan dalam sehari, asal anak-anak tak merengek minta perhatian, dan hari tak dilimpahi gangguan.

Pohon-pohon sagu di area dekat Rumah Sakit Umum Daerah Bobong, tempat suami Nunce mengambil daunnya untuk membuat atap. Foto: Risto Sangaji/kadera.id

Hari itu, pesanan datang dari kepala desa. “250 bengkawan untuk kandang ayam,” kata Nunce. Satu bangkawan dijual lima ribu rupiah. Bukan angka besar, tapi cukup untuk menyambung napas hingga esok, cukup untuk bekal anak berangkat sekolah.

Dulu, pesanan atap daun sagu adalah hal biasa. Rumah-rumah berdiri dengan naungan yang dijalin dari alam. Tapi zaman berubah. Beton menggantikan daun. Seng menyingkirkan rumbia. Kini, pesanan hanya datang ketika ada pembangunan desa atau acara di Bobong.

“Dulu dua saudara laki-laki saya juga menjahit,” tutur Nunce mengenang. “Sekarang mereka lebih sering di kebun. Kalau pun menjahit, hanya untuk rumah sendiri, kalau ada yang bocor.”

Dalam sunyi yang dibingkai oleh daun-daun sagu, Nunce menaruh harap. Harap yang sederhana namun mendalam, bahwa suatu hari tangan-tangan mereka tak menjahit hanya demi bertahan hidup.

“Kalau tidak ada pesanan, tidak ada pemasukan,” ujarnya, pelan, seperti doa yang disampaikan kepada langit yang entah mendengar atau tidak. “Makan susah. Sekolah anak juga. Semoga pemerintah bisa bantu kami.”

Dan pagi terus bergulir di Ratahaya. Di bawah atap sederhana yang dijahit dengan sabar, hidup berlanjut, meski pelan. Dalam anyaman daun sagu itu, terjalin juga harapan, cinta, dan ketekunan yang tak pernah surut oleh waktu.