GERIMIS menggantung di langit Santiong, Ternate Tengah, Senin siang. Matahari belum sempat berdiri tegak di atas kepala, tapi lalu lintas sudah ramai. Sepeda motor, mobil niaga, dan pejalan kaki berseliweran di kawasan Pekuburan Cina. Di sela nisan-nisan batu tua, puluhan ekor sapi mengunyah rumput. Beberapa pedagang tampak sibuk menambatkan tali atau menimbang harga.

Di sinilah, di antara makam-makam Cina, para pedagang ternak menggantung harapan. Jelang Iduladha 1446 Hijriah, kawasan ini mendadak menjelma pasar musiman. Mereka datang dari jauh, sebagian dari Jailolo, Halmahera Barat, menumpang kapal kayu dan memboyong dagangan hidup: sapi dan kambing.

“Di sini tempat bajual [jualan]. Bikiapa [kenapa], cari sapi?” tawar Milo Payo, 40 tahun, saat saya menepi di tepi jalan kompleks pemakanan, Senin, 2 Juni 2025.

Milo menekuk lutut di atas tiang beton yang sudah buntung–membelakangi saya. Ia memboyong 15 ekor sapi dari Jailolo. Kini tersisa enam ekor. Sisanya sudah dipesan pembeli, sebagian dari pengurus masjid dan panitia kurban.

Setiap tahun, Milo rutin datang ke Ternate membawa ternak. Biasanya H-10 atau H-7 Idulfitri dan Iduladha, saat musim panen bagi pedagang ternak. Harga sapi yang ia jual tahun ini berkisar Rp14 juta hingga Rp20 juta per ekor, tergantung bobot.

“Dulu paling kecil Rp12 juta hingga Rp13 juta, paling tinggi Rp20 juta sampai Rp25 juta,” katanya. Tahun lalu, Milo mengaku menjual hingga 20 ekor sapi di tempat yang sama.

Ternak yang dilelang di Pekuburan Cina, Santiong, Ternate Tengah. Foto: La Ode Zulmin/Kadera.id

Naiknya harga sapi, menurut dia, tak lepas dari membumbungnya harga kopra. Peternak sapi di Halmahera Barat rata-rata juga petani kelapa. Ketika kopra mahal, mereka enggan melepas ternak.

“Sebenarnya, mereka belum jual sapi ini, karena masih nyaman dengan harga kopra,” ujar Milo. “Kita paksakan harga. Makanya dorang [mereka] batahan [bertahan] dengan harga demikian.”

Di sisi lain, biaya angkut ikut terkerek. Ongkos sapi dari Jailolo ke Ternate kini Rp150 ribu–naik 50 persen dari tahun lalu. Biaya buruh angkut di pelabuhan juga melonjak dua kali lipat, dari Rp50 ribu menjadi Rp100 ribu per ekor.

“Ongkos transportasi dan buruh kapal besar juga,” jelasnya. Itu belum termasuk ongkos makan, tempat tinggal, termasuk pakan sapi.

Sekitar sepuluh meter dari tempat Milo duduk, Sofyan berdiri memperhatikan sapi-sapinya yang tengah makan. Tubuhnya kurus, tapi matanya awas. Seperti Milo, ia juga membawa sapi dari Jailolo. Jumlahnya tak sebanyak tahun lalu.

“Paling rendah harga per ekor sapi Rp12,5 juta, paling tinggi Rp25 juta,” katanya.

Sofyan membenarkan, harga sapi tahun ini memang naik. Lagi-lagi karena faktor kopra. Petani merasa aman secara ekonomi, sehingga tidak tergesa menjual ternak mereka.

Ternak yang dilelang di Pekuburan Cina, Santiong, Ternate Tengah. Foto: La Ode Zulmin/Kadera.id

Namun, berbeda nasib dengan pedagang sapi, pedagang kambing mengaku harga masih stabil. Tito, 36 tahun, datang dari Morotai membawa 22 ekor kambing. Saat saya temui, ia sedang memberi makan kambing-kambingnya yang diikat di sisi nisan. Beberapa kambing gelisah, sebagian asyik mengunyah daun pisang.

“Per ekor Rp2,7 juta sampai Rp6 juta,” ungkap Tito. Ia bilang, harga kambing saat ini masih standar.

Meski begitu, Tito mengaku belum satu pun kambing terjual. Ia tetap optimis. Biasanya, kambing baru laku dalam satu-dua hari menjelang Iduladha.

Di tengah batu-batu nisan dan aroma tanah basah, para pedagang ternak ini terus menggantungkan harapan. Sekalipun dagangannya mengembik dan menguak di tempat peristirahatan terakhir manusia, mereka percaya: setiap hewan punya takdir, begitu pula rezeki.[]

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter