Warga Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, sebagian besar merupakan petani dan nelayan. Mereka berkebun cengkeh, pala, dan kelapa serta melaut di Teluk Weda. Namun, kini sebagian warga telah beralih profesi akibat masifnya ekspansi perusahaan tambang nikel.

Pembukaan lahan tambang di Sagea dimulai sejak 2022 hingga 2023 oleh PT First Pacific Mining (FPM). Sebagian lahan yang kini menjadi konsesi tambang dulunya merupakan kebun milik warga.

Saat PT FPM memperoleh izin menambang di Desa Sagea pada 2022, para pemuda setempat melakukan aksi protes. Aksi ini dilatarbelakangi oleh kejanggalan dalam perizinan. Kontrak awal perusahaan pada 2010 seharusnya berakhir pada 2018. Namun, justru pada 2022, kontrak tersebut diperpanjang hingga 2030.

“Saat PT FPM lakukan pembebasan lahan sejak tahun 2022 lalu, kami menemukan terjadi pelanggaran adminstrasi. Dalam proses penyelesaian itu, [dokumen] administrasi PT FPM belum lengkap, tapi mereka langsung terobos melakukan pembebasan,” kata Mardani Legaelol, yang akrab disapa Olan, aktivis komunitas Save Sagea.

“Mestinya, sebelum lahan dibebaskan, harus mensosialisasi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), tetapi tidak dilakukan,” tambah Olan.

Selama beroperasi di Sagea, PT FPM membebaskan lahan yang berdekatan dengan sungai. Padahal, pembebasan lahan seharusnya berjarak beberapa kilometer dari sungai untuk mencegah pencemaran. Namun, hal ini terus diabaikan oleh perusahaan.

“Jika lahannya berdekatan dengan sungai, sudah harus ada kebijakan dari pemerintah desa dan pemerintah daerah untuk melarang dan merespons. Tetapi  dibiarkan hingga berlanjut,”keluh Olan.

Jika aktivitas tambang terus berjalan, para pemuda SaveSagea khawatir dampaknya akan sampai ke Goa Bokimaruru, situs keramat yang diyakini sebagai warisan leluhur dan kini menjadi objek wisata yang mendatangkan pendapatan bagi masyarakat Desa Sagea dan Kiya.

Goa Bokimaruru sudah memberikan pendapatan setiap bulan kepada warga di Desa Sagea dan Kiya. Itulah membuat kami mempertahankan sungai tersebut sebagai sumber penghidupan warga dalam mengkomsumsi, mencuci, dan dijadikan tempat ekowisata,” kata Olan.

Namun, beberapa kali terjadi banjir di dalam Goa Bokimaruru. Pernah pula wisatawan terjebak selama beberapa hari akibat banjir. Banjir ini diduga terjadi karena kawasan hutan di hulu sungai telah habis dibabat aktivitas tambang nikel.

Sejumlah aktivis Save Sagea membentangkan dua spanduk protes terhadap aktivitas pertambangan yang merusak bentang karst Bokimaruru dan mencemari perairan laut Teluk Weda di depan kampung Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, pada Kamis, 29 Mei 2025 sekaligus memperingati hari Anti Tambang (Hatam). Foto: Supriyadi Sudirman/SaveSagea

Hal itu seperti diungkapkan dalam studi Forest Watch Indonesia (FWI) pada 2024 yang menyebutkan bahwa Sungai Sagea–yang terhubung dengan Gua Bokimaruru–telah tercemar sejak 2023. Aktivitas pertambangan dihulu sungai, diduga menyebabkan perubahan warna air menjadi kuning kecokelatan, dengan sedimen tebal, sehingga masyarakat terpaksa menanggung dampaknya.

FWI menyebutkan, operasi pertambangan nikel dan pengolahan di bawah PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak buruk pada masyarakat setempat. Dampak yang terjadi meliputi deforestasi, pencemaran sungai dan laut, serta rusaknya ruang hidup warga.

Nelayan-nelayan kecil yang melaut di perairan Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang berdampingan dengan aktivitas industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Foto: Supriyadi Sudirman/Save Sagea

Dari data Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dikutip FWI, hingga 2023, terdapat 13 izin usaha pertambangan (IUP) dengan konsesi seluas 59.678,04 hektar di Halmahera Tengah, didominasi oleh nikel, dan sebagian besar sudah beroperasi.

Aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel yang begitu masif hingga sekarang juga diduga menyebabkan adanya peningkatan pencemaran di Sungai Sagea. Hal itu diungkap dalam riset terbaru Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako (2025) yang menyebutkan, aliran air dari area pertambangan di bagian hulu sungai diduga memberikan kontribusi terhadap peningkatan konsentrasi nikel (Ni), kromium (Cr), dan karbon monoksida (Co).

“Konsentrasi Cr dan Ni pada sedimen Sungai Ake Jira dan Ake Sagea melebihi standar kualitas sedimen USEPA, yang menempatkan keduanya dalam kategori “tercemar berat”,” sebut riset tersebut.

Riset ini menunjukan dimana wilayah Halmahera Tengah, yang dijadikan pusat utama kegiatan PT IWIP telah mencemari sumber-sumber kehidupan warga, termasuk di Desa Sagea, Weda Utara.

Jual Lahan dengan Harga versi Perusahaan

Sukri, 46 tahun, warga Desa Sagea, mengalami pahitnya menjual lahan ke perusahaan tambang. Ia bercerita bahwa pada 2021, ia menjual lahannya kepada PT Shan Hai Map. Namun, hingga kini, sebagian dari lahannya belum juga dibayar.

PT Shan Hai merupakan perusahaan asing asal Tiongkok yang bergerak di bidang konsultan manajemen. Perusahaan ini diketahui hanya membantu ekspansi perusahaan Tiongkok ke Indonesia, termasuk dalam hal pendirian usaha, pengurusan visa, dan perizinan, termasuk di bidang tambang.

Sukri mengaku terpaksa menjual lahannya karena kebutuhan keluarga. Ia mengatakan, total lahan yang dibebaskan di Desa Sagea mencapai 300 hektare dan di Desa Kiya sekitar 200 hektare. Dari luasan itu, sekitar 50-60 hektare masih belum dibayar.

Dalam transaksi, PT Shan Hai–anak perusahaan dibawah PT Indonesia Weda Bay Industrial Park–menerapkan harga versi mereka: lahan rawa Rp15.000 per meter, tanah pegunungan Rp12 ribu per meter, dan tanah datar Rp20.000 per meter.

Standar ini, mereka pakai khusus lahan yang masuk dalam kawasan hutan lindung dan hak pengelolaan lahan (HPL),” ujar Sukri.

Ada aktivitas alat berat di dalam area perkebunan menuju geowisata Gua Bokimaruru di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah. Foto: RL/Kadera.id

Ada juga lahan warisan turun temurun yang tidak masuk HPL namun belum bersertifikat. Pemerintah desa bersama pemilik lahan sudah melakukan mediasi untuk menetapkan harga. Warga meminta lahan dibeli Rp50.00 per meter. Namun, perusahaan membatalkan pembelian dengan alasan tidak sanggup membayar harga tersebut.

Sukri mengatakan, saat menjual lahannya ia belum merasakan dampak signifikan karena lahan tersebut merupakan kebun sagu dan lahan tidur. Tetapi sekarang, sebagian besar warga sudah menjual lahannya. Ia mengaku, kebutuhan pokok seperti singkong dan sayur sudah sulit ditemukan. Semua kebun telah menjadi milik perusahaan.

Sekarang semua kebutuhan pokok, kami harus membeli ke penjual sayur yang sering lewat di kampung,”ujar Sukri.

Setelah pembebasan lahan, PT Shan Hai meninggalkan Sagea. Mirisnya, lahan-lahan yang telah dibeli diduga akan dijadikan pusat kawasan industri nikel.

Informasi ini, saya dapatkan ketika mengikuti  kegiatan di Weda waktu itu. Sebab dokumendan konsep desainnya ada di Pemerintah daerah. Kalaupun dijadikan kota penunjang industri. Tentunya,  pembebasan lahannya harus dari Pemerintah, tetapi kenapa perusahan yang bebaskan. Kalau pembebasan buat apa saya kurang tahu,”ucap Sukri.

Supriyadi Sudirman, aktivis lingkungan warga Sagea, ketika berpose di lahan yang telah dibeli perusahaan tambang nikel di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah. Foto: RL/Kadera.id

Pemerintah Punya Rencana, Jual Beli Lahan Jalan Terus

Uli Alfathani, Kepala Bidang Infrastruktur Wilayah, Perekonomian, dan SDA Bappelitbangda Halmahera Tengah, menjelaskan bahwa masyarakat sebenarnya telah diimbau untuk tidak menjual lahan secara serentak. Sebab kalau dijual sertentak, kata Uli, warga bisa kehilangan mata pencaharian sebagai petani dan beralih jadi buruh perusahaan tambang.

Sebenarnya ada mekanisme antara pemda dengan perusahaan agar lahan tersebut dibayar bagi [warga] yang berkepentingan saja,”jelasnya.

Namun, pasca koordinasi itu, Uli mengaku belum mengetahui perkembangan lebih lanjut, termasuk seberapa luas lahan yang dijual. Menurutnya, pemerintah memiliki kepentingan untuk memanfaatkan lahan demi pembangunan desa, seperti pertanian, perkebunan, dan budidaya ikan.

Tapi jika bicara program atau perencanan pembangunan desa dengan masifnya investasi tambang, maka rumit kita urai,”ujarnya. Sebab, katanya, di lapangan, dinamika tak terkendali. Banyak warga tetap menjual lahan mereka.

“Mekanisme itu, sehingga membuat warga ingin menjual lahannya. Tapi, perusahaan mengusulkan bahwa kawasan tersebut diperuntukkan bagi pembangunan industri,”imbuhnya.

Terkait pembebasan lahan oleh PT Shan Hai di Sagea, konfirmasi telah dikirim ke Humas PT IWIP, Rizal Syam, melalui pesan WhatsApp. Namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada tanggapan.

Mustami Jamal, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD) Halmahera Tengah juga menyebut pihaknya sudah mengimbau warga agar tidak menjual seluruh lahan, terutama lahan produktif.

“Bila kitorang [kami] kasana [pergi] ke desa untuk melarang warga agar tak menjual tanahnya, tapi mereka sudah menjual. Mau bilang apa lagi,”ujarnya.

Munadi Kilkoda, anggota DPRD Halmahera Tengah, saat dikonfirmasi mengatakan belum mendapatkan laporan resmi dari warga soal lahan yang belum dibayar.

Jika ada pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT IWIP dengan melibatkan pemilik tanah, tentu ada pembicaraan harga yang di dalamnya, ada pihak-pihak terlibat,” ujar Munadi.

Namun, ia mengaku sering mendengar keluhan warga soal rendahnya harga tanah. Ada tanah yang hanya dihargai Rp6.000 hingga Rp9.000 per meter.

“Saya kira, itu proses pembodohan namanya. Makanya saya berpandangan bahwa tanah tersebut harus dibayarkan berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP),” tegasnya.

Ia menambahkan, Kantor Pertanahan atau ATR/BPN Halmahera Tengah harus dilibatkan dalam proses ini untuk memastikan NJOP, lalu dinegosiasikan bersama warga. “Jika tidak dibayar, warga akan memanfaatkan tanah tersebut demi kepentingan mereka,” ujarnya.

Bekas galian perusahaan nikel di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah. Foto: IG @tan_fiye/Supriyadi Sudirman

Tambang Datang, Hutan Hilang, Sekolah Melayang

Firlawanti lestari, akademisi kehutanan Universitas Khairun Ternate, mengungkapkan bahwa sejak 2014 hingga 2017 terjadi peningkatan signifikan alih fungsi hutan menjadi area pertambangan.

“Halmahera Tengah telah mengalami kerusakan besar dari 2014-2017 yang mulai beroperasipada 2018, terutama ketika PT IWIP di distrik Weda mencapai kemajuan yang signitifkan melalui kemitraan dengan PT Antam sebagai bisnis pertambangan,” ujarnya.

Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya menambang, tetapi juga mengekstraksi dan melebur bijih nikel. Aktivitas ini membutuhkan lahan luas dan berdampak pada kawasan hutan.

Data mencatat bahwa pada 2015, luas hutan mencapai 8.825.05 hektare. Namun pada 2022, angkanya menurun drastis menjadi 1.437,249 hektare. Perubahan lanskap ini mengganggu siklus hidrologi.

“Hutan berfungsi sebagai penyerap air dan menahan lajunya erosi, sekarang hutan dibabat habis, dan yang pasti sudah tidak ada,” tegas Firlawanti.

Menurutnya, pembongkaran hutan sangat berdampak pada perempuan dan lansia secara ekologis dan sosial. Pendapatan masyarakat terganggu, air tercemar, dan banjir merusak rumah-rumah warga.

Ia menyoroti dampak sosial dari kehadiran tambang, terutama pada konteks pendidikan, dimana banyak lulusan SMA yang tak melanjutkan pendidikan tinggi, melainkan langsung bekerja sebagai buruh di industri tambang.

“Padahal di tambang, mereka hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar, bukan berada di bagian teknisi maupun pegawai yang banyak diisi pekerja dari luar daerah,” tandasnya.[]

Liputan ini merupakan fellowship Investigasi Proyek Strategis Nasional yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Yayasan Kurawal 2024.

Redaksi
Editor
Mansyur Armain
Reporter