BUTUH waktu 15 menit dari Ternate ke Tidore menyeberangi laut dengan kapal kayu. Saat tiba di dermaga, kami berpapasan dengan sejumlah masa aksi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Bergerak.

Tujuan kami sama: datang ke Pengadilan Negeri (PN) Soasio Tidore, tempat di mana 11 orang warga Maba Sangaji mengajukan permohonan pra-peradilan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara.

Dalil yang digunakan aparat untuk membungkam suara kritis warga penolak tambang adalah tuduhan bahwa saat melakukan aksi protes, mereka membawa senjata tajam dan merintangi “kepentingan” investasi.

Investasi yang dimaksud tak lain adalah aktivitas PT Position, perusahaan yang mengeruk nikel di Halmahera Timur dan membabat hutan adat Maba Sangaji. Ekstraksi ini tidak hanya menyerobot wilayah adat, tapi juga mengancam kehidupan banyak orang–sungai sebagai sumber kehidupan ikut rusak dan tercemar.

Alih-alih mendapatkan penjelasan atau perlindungan, warga jurstru diintimidasi dan dikriminalisasi oleh aparat. Dalam waktu hanya sehari, mereka ditetapkan sebagai tersangka. Di sini, Polda Maluku Utara tidak hanya menunjukkan ketidakprofesionalan dan kebodohan, tapi juga keberpihakan yang terang-terangan terhadap investiasi “berhala” bernama nikel milik PT Position.

Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Bergerak membentangkan umbul-umbul di depan Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore pada Kamis, 5 Mei 2025. Foto: Rajuan Jumat/Kadera.id

***
DARI pelabuhan Rum menuju PN Soasio butuh waktu sekitar 30 menit berkendara dengan kecepatan penuh. Karena kami menggunakan Vespa, sepeda motor tua buatan Italia, kami menyusuri jalanan aspal Tidore yang kering dengan pelan.

Saat tiba di PN, massa aksi belum sepenuhnya datang. Hanya ada beberapa petugas kepolisian yang duduk dan berdiri di seberang jalan dengan pengadilan.

Sambil menunggu, kami pelesiran ke pusat kuliner dan mampir ke warung makan, memesan gorengan pisang. Baru dua-tiga kunyahan, seseorang masa aksi mengabari lewat telepon bahwa mereka sudah tiba di lokasi. Kami segera menuju pengadilan.

Massa sudah berkerumun. Ada yang memegang corong, membawa spanduk berbagai ukuran, hingga umbul-umbul bertuliskan: “Usir tambang dari Maluku Utara!”, “Tidak ada kesejahteraan di tengah kerusakan alam!”,  “Tanah air untuk hidup, bukan dikeruk!”

Massa menuntut PN Soasio bersikap bijak dan meninjau kembali penetapan tersangka sebelas masyarakat adat Maba Sangaji. Aksi pada Kamis pagi, 5 Juni 2025, itu sempat memanas ketika seorang panitera PN Soasio–bersama aparat polisi–berupaya meredam orasi.

“Ini sidang pertama…” kata Muhammad Abduh Abas, panitera PN Soasio. Belum sempat melanjutkan, ucapannya dipotong oleh suara massa aksi.

“Suruh dia badiam dulu,” sergah Abbas.

“Kami dari pihak pengadilan,” katanya lewat pengeras suara, “pada intinya akan menerima aspirasi adik-adik terkait pembebasan tahanan dalam perkara ini. Cuman, kalau kita sidang di dalam sementara kalian orasi di luar, ini mengganggu persidangan. Jadi mohon pengertiannya,” lanjutnya.

Sedetik kemudian, seorang masaa aksi berteriak garing di tengah kerumunan: “Tidak mungkin mengganggu!”

“Kami berkomitkan mengawal seluruh persidangan. Maka biarkanlah kami tetap orasi dan sidang tetap berjalan,” timpal massa aksi lainnya.

“Kalau tidak ada tekanan publik, tidak ada tekanan dari luar, maka negara tidak akan percaya,” kata Irawati, seorang perempuan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Bergerak.

Muhammad Abduh Abas, Panitera PN Soasio, Tidore Kepulauan, saat menghampiri massa aksi Aliansi Masyarakat Adat Bergerak, Kamis, 5 Juni 2025. Foto: RL/Kadera.id

Pernyataan Irawati bukan tanpa alasan. Dalam banyak kasus kriminalisasi dan intimidasi oleh aparat, perhatian publik seringkali menjadi penentu. Tanpa sorotan, kasus-kasus itu lenyap ditelan birokrasi dan ketidakadilan.

Hal ini pernah terjadi di banyak daerah. Termasuk suku O’Hongana Manyawa atau Tobelo Dalam, penjaga terakhir hutan Halmahera, yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan berencana. Pada September 2023, PN Soasio memvonis dua orang Tobelo Dalam masing-masing 20 tahun penjara.

Laporan KontraS mencatat, di pengadilan yang sama pada 2014, dua anggota Tobelo Dalam juga dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan terlibat pembunuhan di hutan Desa Waci, Maba Selatan, Halmahera Timur.

Demikian pula dengan kasus Hambiki, Hago, Rinto, Taduba, Awo, dan Saptu–enam warga adat O’Hongana Manyawa yang dijatuhi hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara oleh hakim PN Soasio.

Atas rangkaian kriminalisasi berulang terhadap warga tak bersalah–yang justru menjadi korban ekspansi perusahaan–Aliansi Masyarakat Adat Bergerak mendatangi PN Soasio. Mereka enggan percaya begitu saja pada lembaga yudikatif tanpa tekanan publik.

Mereka menilai, penetapan 11 tersangka 19 Mei 2025 janggal dan sarat kepentingan perusahaan. Selama proses pemeriksaan, warga diinterogasi tanpa pendampingan hukum, ada yang dipukul, bahkan dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan.

Tuduhan premanisme, pemerasan, hingga penghalangan investasi dilayangkan kepada mereka. Ini menunjukkan dugaan keberpihakan aparat pada “juragan” tambang nikel PT Position.

Jika kasus ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi aparat untuk lebih ringan dalam mengintimidasi warga penolak tambang dan proyek pemerintah. Sebab ketika hukum terus gagal, aparat akan percaya bahwa kekerasan demi investasi bukan lagi perkara.

Terlebih, Halmahera Timur digadang-gadang sebagai pusat industri baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia dengan investasi fantastis: Rp114 triliun–yang direncanakan akan diresmikan Prabowo, presiden Indonesia.

Proyek ambisius ini mengancam bukan hanya hutan, tetapi juga masa depan orang Halmahera. Aparat akan membidik siapa saja yang dianggap menghalangi.

Perjuangan sebelas warga Maba Sangaji hari ini adalah jihad awal untuk mempertahankan ruang hidup bagi generasi mendatang–warisan untuk anak-cucu agar tidak tersingkir dari tanah mereka sendiri.

Saat sidang pra peradilan atas 11 tahanan politik warga Maba Sangaji, di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, pada Kamis, 5 Juni 2025. Foto: RL/Kadera.id

Kuasa hukum warga Maba Sangaji, Anto Yunus, mengatakan kliennya dikenakan pasal berbeda. Empat di antaranya dituduh melanggar Pasal 368 1 KUHP tentang pemerasan dan pengancaman.

“Kami memiliki fakta hukum yang berbeda dan penyidik juga memiliki fakta hukum yang berbeda. Bagi kami, ini bukan suatu tindak pidana—ada fakta yang tidak bersesuaian,” ujarnya begitu keluar dari ruang persidangan.

Dua pasal lain yang digunakan adalah Pasal 2 Ayat 1 UU Darurat tentang membawa senjata tajam dan Pasal 162 UU Minerba terkait penghalangan aktivitas tambang berizin. Menurut Anto, semua itu tidak bisa serta-merta dianggap sebagai delik hukum.

Pra-peradilan ini, kata Anto, akan menguji dua hal: sah atau tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya penangkapan oleh Polda Maluku Utara berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Ia menjelaskan, kliennya membawa parang bukan untuk menyerang, tetapi untuk berjaga-jaga karena lokasi aksi jauh dari kampung. Mereka harus melewati sungai dan hutan lebat.

“Dalam dugaan tindak pidana membawa senjata tajam, membawa parang dan pisau, bukan dengan maksud mengancam, bukan juga untuk menyerang,” kata Anto yang kerap disapa Suarez.

“Karena mereka melewati sungai dan hutan, sehingga parang yang mereka bawa itu hanya sekadar membela diri atau pertahanan diri manakala terjadi apa-apa di hutan,” lanjutnya.

Anto menegaskan, membawa parang bukan fakta hukum yang bisa dijadikan dasar penetapan tersangka. “Kalau membawa parang adalah pidana, berarti orang yang menjual parang di pasar juga harus ditetapkan sebagai tersangka karena membawa parang atau kepemilikan parang!” tegasnya.

“Begitu juga dengan orang yang menjual ikan di pasar, begitu juga dengan orang yang menjual daging di pasar—agar segera mereka ditetapkan sebagai tersangka karena kepemilikan benda tajam!”

Adapun soal Pasal 162 UU Minerba, Anto menilai tidak ada warga yang menghalangi aktivitas tambang. Mereka datang secara damai namun justru ditangkap.

Parang yang dibawa warga juga sudah diamankan lebih dulu di tenda sebelum hering dengan perusahaan dimulai. “Teman-teman tidak pegang parang. Parang itu ada dalam tenda. Hering itu video sudah beredar semua—tidak ada parang yang mereka pegang dalam hering dengan perusahaan,” tutur Anto.

Ia menyimpulkan, penetapan tersangka terlalu cepat. Dari pemeriksaan sebagai saksi, langsung berubah jadi tersangka di hari yang sama. Semua dokumen penyidikan juga keluar di tanggal yang sama: 19 Mei 2025.

Bagi Anto, ini bukti bahwa sejak awal penangkapan, kliennya sudah dianggap bersalah.

Ia mendesak jaksa dan penyidik untuk mengkaji kembali semua fakta secara jernih dan objektif. “Kita menghormati KUHP, kita menghormati hukum pidana. Dan kita meyakini bahwa teman-teman penyidik adalah orang-orang yang mengerti tentang itu,” ungkapnya.

Massa Aliansi Masyarakat Adat Bergerak membacakan pernyataan sikap di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore, Kota Tidore Kepulauan pada Kamis, 5 Juni 2025. Foto: RL/kadera.id

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menegaskan penangkapan paksa, intimidasi, kekerasan, hingga pelabelan “premanisme” terhadap warga yang mempertahankan tanah, hutan, dan wilayah adat sebagai bentuk brutalitas negara yang melanggar hak asasi manusia dan menghina martabat adat.

Pasal-Pasal yang dipakai polisi menjerat sebelas warga tersebut, kata Melky, merupakan pasal karet yang tidak bisa dibenarkan. Apalagi secara sepihak menyatakan tiga orang di antaranya positif narkoba tanpa prosedur pemeriksaan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Kami secara serius menilai tuduhan tersebut sebagai upaya pengalihan isu untuk membenarkan tindakan represif aparat penegak hukum terhadap warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya,” tegas Melky.

Menurut Melky, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji adalah bentuk upaya sistematis untuk merampas ruang hidup dan membungkam perjuangan melalui stigma hukum–pasal karet yang digunakan polisi. Ia menambahkan, upaya mengubah narasi perlawanan menjadi tuduhan kriminal adalah cara licik untuk menghapus legitimasi perjuangan masyarakat adat.

“Menyebut mereka [warga] sebagai “preman bukan hanya penghinaan terhadap identitas kolektif mereka, tetapi juga untuk menutupi kenyataan bahwa mereka lah pemilik sah atas tanah dan hutan yang kini dijarah oleh perusahaan tambang,” terang Melky.

Kasus yang menyeret sebelas warga Maba Sangaji ke meja hijau juga mendapat perhatian dari Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch dan aktivis HAM. Menurut Andreas, penggunaan UU Darurat untuk menjerat warga desa adalah cara menakut-nakuti mereka yang memperjuangkan hak atas tanah.

Membawa senjata tajam, katanya, tak bisa serta-merta dilihat sebagai ancaman. “Ini sama halnya dengan membawa busur dan panah di Papua Barat—ia tidak bisa dilihat sebagai potensi melakukan kejahatan,” kata Andreas pada Kamis, pekan keempat Mei lalu.

Jika polisi pernah hidup di desa, lanjut Andreas, mereka seharusnya sadar kalau orang desa biasa membawa pisau atau parang buat potong dahan, buka buah, congkel tanah dan sebagainya.

Penulis buku Agama Saya Adalah Jurnalisme ini menegaskan: polisi seharusnya menjalankan tugas mereka guna menjamin orang-orang Maba Sangaji bisa menjalankan hak mereka buat berpendapat dan mempertahankan tanah mereka dengan aman.[]

Rabul Sawal
Editor
Rajuan Jumat
Reporter