Keluarga 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang ditetapkan sebagai tersangka karena menolak tambang nikel PT Position, menggelar diskusi solidaritas bertajuk “Mama-Mama Bacarita: Jaga Tanah Adat, Jaga Masa Depan Kampung!” di Caffe Sua, Benteng Oranje, Kota Ternate, Rabu, 18 Juni 2025 malam.
Diskusi digelar dua hari setelah putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, yang mengesahkan status tersangka. Padahal, warga ditangkap tanpa surat resmi dan aparat menggunakan kendaraan pribadi.
Badi Ali, 59 tahun, ayah dari Jamaluddin Badi, salah satu warga yang ditahan, menyampaikan kekecewaannya atas putusan hakim. Ia semula yakin anaknya akan dibebaskan karena hanya memperjuangkan tanah adat da lingkungan.
“Kami keluarga merasa sedih dan kecewa karena mereka [sebelas tahanan dinyatakan] sah menjadi tersangka. Yang menjadi pertanyaan, mereka ini bersalah seperti apa? Melakukan, perampasan, pengancaman, pembunuhan? Bagi kami ini hanya menyampaikan aspirasi ke pihak perusahaan,” jelas Badi, kecewa, saat diwawancarai Kadera setelah diskusi.
Ia menilai, proses penangkapan cacat prosedur. Surat penangkapan, kata dia, diberikan setelah peristiwa terjadi. Bahkan, aparat disebut menggunakan fasilitas perusahaan tambang saat penangkapan berlangsung.
Badi mengaku kehilangan kepercayaan terhadap kepolisian dan lembaga peradilan setelah putusan praperadilan tersebut. “Sekali lagi, kami merasa sedih dan kecewa. Kami saat ini hanya mengharapkan dukungan aktivis, mahasiswa, LBHI, dan pendamping hukum,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan sikap pemerintah daerah yang dinilainya tidak responsif. Menurut Badi, Bupati Halmahera Timur sempat menjanjikan akan berkoordinasi dengan aparat, namun hingga kini belum ada kejelasan.
“Kami harapkan doa dan dukungan. Kemana lagi keadilan ini akan kami bawa untuk keluarga 11 warga Maba Sangaji yang ditahan Polda Maluku Utara. Kami hanya menuntut keadilan,” katanya.
Senada dengan Badi, Kamaria Malik, 37 tahun, istri Nahrawi Salamudin, warga Maba Sangaji yang ditahan, menuturkan suami dan anaknya ditangkap saat tengah mengecek lahan mereka. Ia menyebut suaminya mengalami kekerasan fisik oleh aparat.
“Kalau itu saya pe [punya] suami dan anak, rencanannya dorang [mereka] mau pergi lihat tanah, tapi ternyata kabar yang yang tong [kami] dengar itu sudah ditangkap dan dipukul,” ujar Kamaria.
Kamaria menambahkan, surat penangkapan tidak diberikan langsung ke pihak keluarga, melainkan diserahkan melalui kepala desa dan diteruskan lewat salah satu kerabat. “Kades kasih surat penangkapan itu bukan di rumah, tapi di jalan. Dan amplop surat itu sudah tersobek,” ungkapnya.
Sementara itu, Wetub Taotubun, mewakili Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyatakan praperadilan hanya medium perlawanan untuk menguji legalitas penetapan tersangka, sehingga tidak perlu menaruh harapan penuh karena hasilnya sudah memperlihatkan ketimpangan hukum.
“Kemarin kan praperadilan menguji formilnya. Kalau berikutnya ini nanti sidang pidana pokok. Jadi kita akan cari tahu soal apakah benar apa yang mereka sangkakan soal tindak pidana, benar atau enggak,” ujar Wetub di acara diskusi itu.
YLBHI, lanjutnya, akan melakukan pendampingan hukum hingga proses persidangan selanjutnya, sidang pokok. “Kami juga akan mendiskusikan langkah lanjutan, termasuk kemungkinan gugatan perdata, ke TUN, atau bahkan menyasar aspek perizinan tambang.”
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.