Tingkat Gemar Membaca (TGM) Kota Ternate menempati peringkat ketiga di Provinsi Maluku Utara pada 2024 dengan skor 63,56 poin. Capaian ini menuai sorotan dari kalangan akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate.
Sesuai informasi yang diterima Kadera.id, peringkat pertama diraih Kabupaten Halmahera Tengah dengan skor 65,12 poin, disusul Kota Tidore Kepulauan dengan 64,60 poin. Sementara itu, beberapa daerah lain mencatat skor lebih rendah dari Ternate, seperti Halmahera Selatan (62,10 poin), Halmahera Barat (61,69 poin), Pulau Morotai (59,87 poin), Pulau Taliabu (57,92 poin), Halmahera Utara (57,61 poin), Halmahera Timur (57,56 poin), dan Kepulauan Sula (55,84 poin).
Menurut Rafli Marwan, dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unkhair, peringkat Ternate yang masih di bawah dua daerah lainnya di Maluku Utara dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah dominasi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari.
“Yang pertama adalah pengaruh teknologi. Teknologi memang memberikan kemudahan, tapi juga berdampak negatif pada minat baca, karena anak-anak lebih nyaman dengan ponsel,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu, 18 Juni 2025.
Rafli menilai upaya peningkatan TGM di Ternate harus dimulai sejak usia dini. Untuk anak-anak usia sekolah dasar (SD), menurutnya, perlu diterapkan metode belajar sambil bermain agar minat baca tumbuh secara alami. Sedangkan di jenjang SMP dan SMA, pendekatan yang digunakan bisa lebih bersifat pembiasaan dan kedisiplinan.
“Intinya, untuk meningkatkan minat baca, harus dimulai dari keluarga. Anak SD bisa diperkenalkan dengan metode bermain. Anak SMP dan SMA harus dibiasakan, bahkan perlu sedikit paksaan. Misalnya, orang tua diberi pemahaman lewat sosialisasi agar membiasakan anak membaca setiap malam pukul 19.00 hingga 22.00,” jelasnya.
Ia juga menyoroti minimnya ketersediaan dan keberagaman buku bacaan di Ternate, yang turut mempengaruhi skor TGM. Rafli menilai, gerakan literasi di Ternate sejauh ini belum mendapat dukungan maksimal dari pemerintah daerah.
“Komunitas penggerak literasi yang dinaungi Pemkot sangat sedikit. Kebanyakan gerakan literasi justru datang dari mahasiswa di kampus. Pemerintah harusnya berperan besar, tapi selama ini minim inisiatif,” katanya.
Ia mengungkapkan, koleksi buku di Perpustakaan Daerah Kota Ternate kerap kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia juga menyebut lembaga swasta seperti Wahana Visi Indonesia dan Bank Indonesia justru lebih aktif dalam menyumbangkan bahan bacaan kepada masyarakat.
“Kalau bahan bacaan saja tidak tersedia atau tidak sesuai kebutuhan, bagaimana kita bisa bicara soal indeks membaca? Bahkan, buku-buku yang disumbangkan ke Pulau Hiri rusak dimakan rayap. Di Takome, buku hanya jadi pajangan, tidak dibaca, akhirnya dibuang karena tidak dimanfaatkan,” ungkapnya.
Rafli menegaskan bahwa keseriusan Pemerintah Kota Ternate dalam mendukung gerakan literasi sangat diperlukan agar TGM bisa meningkat di masa depan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.