Sejumlah keluarga korban kriminalisasi masyarakat adat Maba Sangaji, memulai kampanye road to campus sebagai bentuk perlawanan terhadap putusan praperadilan yang menetapkan 11 warga mereka sebagai tersangka. Kegiatan ini digelar perdana di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Khairun, Kota Ternate, pada Senin, 23 Juni 2025.
Asnia Salamuddin, mewakili keluarga korban, menyerukan solidaritas publik agar terus mengawal proses hukum yang dinilainya tidak adil.
“Saya secara pribadi juga mewakili keluarga korban terus meminta bantuan berupa solidaritas dari kawan-kawan mahasiswa dan aliansi. Karena seperti yang kalian lihat, keadilan tidak berpihak pada kami sebagai masyarakat kecil,” kata kata Ansia yang akrab disapa Mama Nia.
Putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, 16 Juni lalu memang dinilai tidak adil. Sebab, dalam putusan perkara sebelas warga Maba Sangaji disebutkan bahwa penangkapan dinyatakan tidak sah tetapi penetapan tersangka sah. Para hakim yang menangani perkara tersebutpun berpendapat berbeda.
Selain tidak adil putusannya, saat proses awal penangkapan diduga warga mengalami kekerasan fisik. “Orang tua kami yang saat ini mempertahankan ruang hidup, mengalami kriminalisasi. Mereka dipukul, dan diseret pada saat penangkapan,” lanjutnya.
Upiawan Umar, mewakili Aliansi Masyarakat Adat Bergerak–aliansi yang aktif mengawal kasus melalui jalur di luar persidangan–mengatakan, perlawanan warga Maba Sangaji tak lepas dari kebijakan hilirisasi nikel pemerintah Indonesia yang sedang mendorong ‘transisi energi’ dengan bahan dasar nikel untuk baterai kendaraan listrik.
“Secara objektif, hilirisasi nikel ini merupakan kebijakan politik secara nasional. Sehingga, kita tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat Maba Sangaji hanya berurusan dengan pemerintah daerah. Perjuangan warga Maba Sangaji merupakan perjuangan melawan elit politik nasional,” terang Upiawan.
Menurut dia, kriminalisasi terhadap masyarakat adat merupakan indikator lemahnya demokrasi. Sehingga apa yang diperjuangkan warga Maba Sangaji, tidak hanya melawan kriminalisasi, tetapi juga memperjuangkan demokrasi.
“Perlawanan masyarakat juga merupakan perjuangan mempertahankan demokrasi. Masyarakat yang bersuara dan melawan mempunyai hak atas tanah mereka. Kriminalisasi menjadi jawaban berapa lemahnya kualitas demokrasi saat ini,” lanjutnya.
Ia juga mengajak aliansi dan seluruh elemen masyarakat di Maluku Utara untuk bersolidaritas terhadap kasus kriminalisasi sebelas masyarakat adat Maba Sangaji.
“Saat ini, satu-satunya kekuatan yang kita punya saat ini adalah solidaritas karena konflik antara masyarakat adat dan koorporasi, tapi ini juga soal demokrasi, karena kritik terhadap kerusakan sumber daya alam juga salah satu bentuk perlawanan,” tambah Upiawan.
Sekadar diketahui, saat ini, sebelas tahanan politik Maba Sangaji sedang menunggu sidang pokok perkara di PN Soasio setelah putusan praperadilan yang dinilai ambigu oleh pendamping hukum.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan menyoroti adanya pola kriminalisasi terhadap masyarakat adat, terutama Maba Sangaji dari ancama pertambangan nikel. Sebab, protes masyarakat Maba Sangaji merupakan protes atas tanah dan tercemarnya lingkungan yang diduga dari aktivitas tambang nikel PT Position.
Wetub Toatubun, mewakili YLBHI, masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan yang sehat tidak boleh digugat secara perdata maupun dituntut secara pidana. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 66 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Jaksa Agung No.8/2022 dan Peraturan Mahkamah Agung No.1/2023, yang menjadi panduan dalam menangani kasus pembela lingkungan.
“Jika kasus ini tidak dihentikan. Artinya ini murni kriminalisasi bagi pejuang lingkungan,” terang Wetub beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, sebelas masyarakat adat Maba Sangaji, termasuk tetua adat dan pemuda kampung, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara atas beberapa tuduhan.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darutat No.12/1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin, Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena merintangi kegiatan pertambangan yang telah berizin dengan ancaman pidana penjara 1 tahun, kemudian Pasal 368 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena diduga memeras dan mengancam.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.