Terminal khusus atau jetty milik perusahaan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Maba, Halmahera Timur, dibangun tanpa izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Hal itu tertuang dalam surat resmi Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut Kementererian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diterima oleh Salawaku Institute, pada Rabu, 25 Juni 2025.

Dalam surat dengan nomor B.250/DJPRL.6/PRL.140/VI/2025, KKP menegaskan bahwa PT STS telah mengajukan permohonan KKPRL, namun dokumen tersebut belum dapat diterbitkan karena masih dibutuhkan kajian teknis lebih lanjut, terutama terkait potensi konflik sosial dan pencemaran lingkungan.

“Berkaitan dengan belum terbitnya KKPRL yang dimohonkan oleh PT Sambaki Tambang Sentosa, yang bersangkutan seharusnya menghentikan sementara kegiatan operasional Terminal Khusus sampai KKPRL diterbitkan oleh Lembaga OSS,” bunyi salah satu poin dalam surat tersebut yang ditandatangani Naufal Sanca Lovandhika, Pelaksana Harian Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut KKP.

Pernyataan KKP mengacu pada ketentuan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 16A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aturan tersebut mewajibkan setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan ruang laut untuk memiliki izin KKPRL, dan bagi yang tidak memilikinya dapat dikenai sanksi administratif.

Sejumlah warga dan aktivis Salawaku Institute menggelar aksi menghentikan proyek pembangunan dermaga atau jetty perusahaan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS), di Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, Halmahera Timur, Rabu, 4 Juni 2025. Foto: Arsip Salawaku Institute.

M. Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institute, menyebut pembangunan jetty tanpa izin KKPRL sebagai pelanggaran hukum yang nyata. Tetapi lebih daripada itu, kata Said, bukan sekadar masalah izin administratif, tapi menyangkut masa depan laut, pesisir, dan masyarakat adat yang hidup dari wilayah itu.

“Perusahaan sangat tidak menghargai aturan dan hukum yang berlaku, dan ini juga harus dipandang sebagai pelanggaran serius. Karena itu, kami mendesak pemerintah bertindak tegas. Tidak boleh ada kompromi terhadap pelanggaran ruang hidup,” ujar Said, yang juga warga Halmahera Timur, dalam siaran pers yang diterima Kadera.

Senada, Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya mencabut izin usaha pertambangan PT STS.

“Mereka tidak harus menjadi alat pembenaran dari kejahatan korporasi. Penegakan hukum harus ditegakkan kepada perusahaan, bukan hanya kepada rakyat yang mempertahankan hak-haknya,” ujar Julfikar.

Pembangunan terminal khusus atau jetty milik perusahaan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Dusun Memeli, Halmahera Timur, yang diduga ilegal sebab tanpa izin KKPRL dari KKP. Foto: Arsip Salawaku Institute

Salawaku Institute dan Jatam Maluku Utara, mendesak Polres Halmahera Timur dan Polda Maluku Utara untuk membuka penyidikan atas dugaan tindak pidana lingkungan dan pelanggaran tata ruang oleh perusahaan.

Selain itu, mereka meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Timur mengeluarkan surat penghentian aktivitas terhadap kegiatan pembangunan jetty, serta menerapkan sanksi administratif sesuai UU Lingkungan Hidup.

Bupati Halmahera Timur juga didesak menjalankan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) karena pembangunan jetty dinilai bertentangan dengan tata ruang yang berlaku.

Untuk diketahui, Salawaku Institute sebelumnya melayangkan surat resmi ke KKP pada 2 Juni 2025, dengan nomor 015/SI/V/2025 untuk meminta legalitas pembangunan jetty PT STS di Dusun Memeli.

Rabul Sawal
Editor
Nurdafni K. Hamisi
Reporter