Sudirman Abjan berdiri di abang pintu rumahnya di pesisir Gambesi, Ternate Selatan, Kota Ternate. Dapur rumah lelaki 39 tahun itu retak dan sebagian ambruk setelah dihantam kayu balok dan longsor akibat hujan derat pada Sabtu malam, 21 Juni 2025. Rumahnya berdempetan dengan muara barangka atau kali mati, hanya berjarak beberapa sentimeter dari talud yang jebol diterjang arus.

Pada malam kejadian, Sudirman bersama istri, empat anak, dan seorang cucu masih berada di rumah. Mereka mendengar suara gemuruh angin dan derasnya hujan di atap. Seperti biasa, banjir sudah menjadi langganan.

Namun malam itu berbeda: batang kayu besar menghantam talud, dapur jebol, dan mereka terpaksa mengungsi ke rumah keluarga tak jauh dari jalan raya utama Gambesi.

Esok paginya, kerusakan baru terlihat jelas. Sekitar dua hingga tiga meter lantai dapur amblas, sebagaian lainnya retak-retak. Tanggu di belakang rumah turut roboh. Hingga Rabu, 25 Juni 2025, Sudirman mengaku belum menerima bantuan apapun dari pemerintah.

“Bantuan dari pemerintah belum ada. Cuman dong [mereka petugas] turun ukur dan foto saja,” kata Sudirman kepada reporter Kadera.

Banjir dan longsor juga menghantam Kelurahan Sasa. Rumah yang ditinggali Asis dan istrinya, Junaira, mengalami kerusakan parah. Atap dapur ambruk, dan talud di belakang rumah jebol dihantam aliran batu dan air dari kali mati. Rumah itu dhuni dua kepala keluarga. Mereka tidak menerima peringatan dini dari BPBD maupun BMKG dan memilih bertahan di rumah sepanjang malam.

Di Gambesi, dua kamar indekos rusak akibat longsor. Beruntung, tidak ada korban jiwa. Warga hanya berhadap pemerintah segera memperbaiki talud yang rusak agar longsor tak kembali terjadi.

Kondisi lantai dan dinding dapur rumah Sudirman, di Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan, Kota Ternate, pasca banjir dan longsor, Sabtu, 21 Juni 2025. Foto: La Ode Zulmin/Kadera.id

Risiko Bencana Berulang, Minim Jangakuan Peringatan

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ternate mencatat sebanyak 121 bencana terjadi dalam lima tahun terakhir. Pada 2021 tercatat 10 bencana, naik menjadi 27 pada 2022, dan kembali menurun menjadi 21 pada 2023. Tahun 2024 mencatat lonjakan dengan 32 kejadian. Sementara, Januari-Juni 2025, jumlah bencana sudah mencapai 31.

Ferry Hadani Welley, Pelaksana Tugas Kepala BPBD Kota Ternate, menyebut ada dua faktor utama penyebab bencana, yakni cuaca ekstrem dan kondisi geografis. Di beberapa titik, permukaan laut lebih tinggi dari daratan, membuat banjir mudah terjadi saat hujan bersamaan dengan pasang laut. Tanah longsor kerap dipicu curah hujan tinggi dan lereng-lereng yang kehilangan vegetasi peyangga.

“Misalnya, problem banjir di Kelurahan Bastiong yang terus berulang. Itu karena permukaaan air laut lebih tinggi dari daratan. Kalaupun hujan dan bertabrakan dengan air laut pasang naik maka kawasan itu tergenang,” ujar Ferry kepada tim liputan Kadera di ruang kerjanya, Rabu, 25 Juni 2025.

BPBD memiliki program mitigas, baik secara struktural (pembangunan fisik seperti tanggul) maupun non struktural (sosialisasi dan penyusunan dokumen kejikanan. Namun Ferry mengakui keterbatasan seperti minimnya peralatan, kurangnya personel terlatih, serta rusaknya alat deteksi dini di sejumlah kelurahan. Peta risiko bencana Kota Ternate juga belum diperbahrui sejak 2012.

Badan Meteorologi dan Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kelas I Sultan Baabullah Ternate mencatat tren cuaca ekstrem di Maluku Utara terjadi setiap Januari, Juni, Juli, Agustus, dan Desember. Faktor lokal seperti letak Ternate di antara laut dan gunung membuat prakiraan cuaca lebih rumit.

“Untuk pola cuaca ekstrem di Ternate dapat dipenuhi oleh faktor lokal maupun regional dan global. Selain itu, wilayah Ternate yang berada langsung di sekitar gunung dan laut menjadi tantangan dalam memprediksi cuaca,” kata Dhea Widyasista, Prakirawan Cuaca BMKG Kelas I Sultan Baabullah Ternate.

Peringatan dini disampaikan melalui prosepek mingguan, peringatan tiga harian, dan nowcasting melalui pesan ke WhatsApp, Telegram, dan media sosial. Namun, distribusi informasi ke masyarakat akar rumput dinilai belum merata. BMKG menyadari perluasan jangkauan informasi menjadi tantangan utama saat ini.

“Karena itu, kami terus berusaha membangun jaringan dan koneksi untuk menyebarkan info seluas-luasnya,” katanya.

Sejumlah kamar di salah satu indekos, di Kelurahan Gambesi, Kecamatan Ternate Selatan, yang rusak akibat banjir dan longsor, pada Sabtu, 21 Juni 2025. Foto: La Ode Zulmin/Kadera.id

Edukasi dan Mitigasi

Prof. Suharno, Guru Besar Teknik Geofisika Universitas Lampung, menjelaskan beberapa penyebab terjadinya bencana di suatu daerah seperti longsor, di antaranya disebabkan struktur tanah dengan kemiringan tinggi, intensitas hujan, hingga hutan gundul. 

Ia menilai bencana seperti longsor tersebut bisa dicegah dengan ekukasi dan rehabilitasi lingkungan. “Mestinya di hutan kan kembali ditanam dengan tanaman yang akarnya kuat,” kata Suharno usai mengisi kuliah umum di Aula Mini, Kampus I Universitas Khairun, pada Kamis, 25 Juni 2025.

Daerah rawan bencana seperti gunung meletus, sunami, kebakaran, tanah longsor, banjir dan lainnya, kata Suharno, sangat penting melakukan mitigasi. Hal ini agar sebisa mungkin dapat mengurangi risiko.

“Intinya, mitigasi itu pengurangan risiko bencana apa saja. Bencana tetap ada, tapi kalau bisa dikurangi, kan lebih baik,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya edukasi sejak dini. Jepang, kata dia, bahkan mengirim guru TK ke Indonesia untuk belajar langsung dari lokasi bencana. Peran media juga sangat penting dalam mengingatkan masyarakat soal mitigasi dan potensi bencana.

“Bisa diingatkan, hati-hati masalah bencana,”ucapnya.

Reportase seri Liputan Khusus disusun tim reporter Kadera.id: La Ode Zulmin dan Nurdafni K. Hamisi

Rabul Sawal
Editor
Nurdafni K. Hamisi
Reporter