Aksi damai yang digelar Front Perjuangan untuk Demokrasi di depan Markas Polda Maluku Utara, Senin sore, 30 Juni 2025, sempat ricuh. Polisi membubarkan paksa massa yang tengah menuntut pembebasan 11 tahanan politik Maba Sangaji, Halmahera Timur.

Bentrok pecah sekitar pukul 17.09 WIT ketika massa aksi mencoba masuk ke pekarangan markas komando kepolisian. Aparat yang berjaga langsung menghadang dan merampas pengeras suara. Suasana memanas. Baku dorong terjadi. Beberapa peserta aksi terjatuh, bahkan mengaku mendapatkan perlakukan kekerasan fisik.

“Saya ditangkap lalu dicekik dan dipukul di pelipis mata,” kata Isra, 24 tahun, salah satu massa aksi kepada Kadera. 

Menurut Isra, pihaknya sudah menyampaikan pemberitahuan aksi, dan menghargai kegiatan peringatan Hari Ulang Tahun Bhayangkara ke-79. Namun, kata dia, respons polisi justru brutal. “Kami didorong paksa. Ada yang sampai luka-luka. Yang saya tahu, ada empat orang, termasuk saya,” tambah Isra.

Massa aksi setelah dibubarkan paksa dari depan Markas Polda Maluku Utara, pada Senin, 30 Juni 2025. Foto: RL/Kadera.id

Yasin Majid, koordinator aksi, menegaskan pihaknya hanya menuntut keadilan bagi sebelas tahanan politik masyarakat adat Maba Sangaji yang kini menjadi tersangka setelah menolak aktivitas tambang nikel PT Position. Ia menyebut, tindakan represif aparat sebagai upaya sistematid membungkam ruang demokrasi.

“Katanya kami mengganggu aktivitas mereka di HUT Bhayangkara. [Padahal] kami berada sekitar 50-100 meter dari Polda, karena kami didorong paksa oleh kepolisian. [Tapi] yang terjadi di lapangan [kami] direpresi aparat kepolisian,” jelas Yasin.

Menurut Yasin, sedikitnya 20 orang massa aksi mengalami kekerasan selama aksi dibubarkan. Beberapa di antaranya mengalami luka memar, terkilir, dan sobek di bagian wajah.

“Yang jelas kami tidak akan tinggal diam. Setelah dari sini, akan balik dan ngobrol untuk mengusung kembali langkah lanjutan dari apa yang dilakukan pihak kepolisian. Namun, langkah hukumnya itu kan harus dibicarakan dulu di internal front. Agar keputusannya diambil bersama. Saya tidak bisa ambil keputusan sepihak,” jelas Yasin.

Wetub Toatubun, pendamping hukum warga dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, pembubaran paksa yang dilakukan polisi tidak berdasar, dan melanggar Undang-Undang No 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

“Kami menilai polisi bertindak arogan terhadap suara kritis massa aksi yang menuntut Polda Maluku Utara untuk membebaskan sebelas tahanan politik Maba Sangaji. Aksi tadi adalah ekspresi kemarahan terhadap institusi kekerasan negara, dalam hal ini polisi, yang menjadi dalang kriminalisasi masyarakat,” jelas Wetub.

Menurut Wetub, anggota Polda Maluku Utara yang diduga melakukan kekerasan terhadap massa aksi harus dilaporkan ke Propam Polri dan Kompolnas agar diberi efek jera. Polisi macam ini, kata Wetub, harus dihukum dan diberi pelajaran, baik kepada anggota maupun pimpinan kepolisian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.”

“Jika kekerasan ini tidak ditindaklanjuti, maka ini merupakan impunitas dan menempatkan kepolisian kebal terhadap hukum,” jelas Wetub.

_____

Redaksi mengganti judul berita yang sebelumnya ditulis “puluhan” menjadi “sejumlah massa aksi luka-luka”. Kami memohon maaf atas kesalahan ini. 

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter