Sejumlah nelayan di Kota Ternate mengeluhkan kebijakan pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pasca produksi yang diberlakukan terhadap hasil tangkapan ikan. Mereka menyebut kebijakan ini memberatkan, karena seluruh ikan yang ditangkap, termasuk yang digunakan untuk konsumsi awak kapal, tetap dikenai pungutan.
Ivan, salah satu nelayan kapal pole and line, mengatakan beban pungutan semakin terasa di tengah ketidakpastian hasil tangkapan. Ia menyebut para nelayan ditargetkan membawa pulang minimal 600 kilogram ikan setiap kali melaut. Jika tidak mencapai target, mereka tetap harus membayar PNBP sesuai taksiran tertentu.
“Kita ditarget harus dapat 600 kilogram ke atas sekali melaut,” kata Ivan kepada Kadera di Pelabuhan Dufa-Dufa, Ternate Utara, Jumat, 4 Juli 2025. “[Masalahnya] tidak mungkin hari-hari mau dapat [ikan sebanyak itu]. Kalau dapat sedikit [ikan], [justru] dapat denda.”
Keluhan nelayan terutama terkait ketentuan bahwa semua hasil tangkapan, baik yang dijual maupun tidak, harus dilaporkan dan dikenai PNPB. Hal itu, menurut Ivan, membuat nelayan semakin terbebani.
Menanggapi keluhan tersebut, Kamaruddin, Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PNN) Ternate, menegaskan tidak ada kenaikan tarif PNPB. Dasar hukum penerapan PNBP pasca produksi merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kalautan dan Perikanan.
“Tidak benar ada kenaikan PNBP pasca produksi,” Kamaruddin kepada reporter Kadera di ruang kerjanya, Selasa, 8 Juli 2025.
Menurut dia, skema pasca produksi justru lebih adil karena pungutan dihitung setelah nelayan mendapatkan hasil tangkapan. Jika menggunakan penarikan PNBP pra produksi, maka nelayan mesti bayar diawal sebelum kapal berangkat.
“Tapi, yang kita gunakan adalah pasca produksi, pelaku usaha (nelayan) membayar PNBP setelah melakukan penangkapan, dan ditarif PNBP-nya berdasarkan hasil yang diperoleh dari perairan kita. Daerah tangkapannya 12 mil dari daratan. Itu sesuai dengan izin pemerintah pusat,” katanya.
Kamaruddin menjelaskan, untuk kapal penangkap di bawah 60 GT, tarif PNBP adalah 5 persen. Sedangkan untuk kapal di atas 60 GT, tarifnya 10 persen. Nilai pungutan dihitung berdasarkan harga acuan ikan saat didaratkan. Misalnya, untuk ikan calakang yang dihargai Rp9.500 per kilogram, maka PNBP sebesar Rp475 per kilogram.
“Kita di Maluku Utara rata-rata di bawah 60 GT. Tarifnya 5%. “Jadi kalau kita hitung-hitung, 5% x Rp9.500 = Rp470.000 per kilonya. Itu PNBP untuk cakalang,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengakui salah satu sumber keluhan nelayan adalah soal klarifikasi hasil tangkapan oleh petugas pelabuhan. Pasalnya, semua ikan yang dibawah dari laut–termasuk yang tidak dijual dan dikonsumsi langsung oleh ABK–dianggap sebagai bagian dari produksi dan tetap dikenai pungutan.
“Pada kenyataanya ada hasil tangkapan yang tidak bayar PNBP. Seperti ikan untuk makanan ABK. Biasanya kan hasil ikan dari laut itu pasti tidak sempat dijual dan pulang ke rumah. Sementara dalam aturan kita, semua ikan yang ambil di laut harus bayar PNBP,” terang Kamaruddin.
Menurut Kamaruddin, praktik pengurangan pelaporan merugikan negara karena berpotensi mengurangi pendapatan dari sektor perikanan. Petugas hanya ingin memastikan tidak ada manipulasi data hasil tangkapan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.