Dalam upaya menjaga dan mengembangkan warisan budaya bawah air di Kota Tidore Kepulauan, Flinders University Australia bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Pemerintah Kota Tidore Kepulauan menggelar lokakarya bertajuk “Meninjau Kembali Situs Kapal Tenggelam yang Pernah Diangkat dan Dijarah di Indonesia dalam Kerangka Pengembangan Terintegrasi untuk Pelestarian Warisan Budaya Bawah Air.”

Lokakarya tersebut berlangsung di Aula Nuku, Kantor Wali Kota Tidore Kepulauan, dan dibuka secara resmi oleh Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan pada Rabu, 9 Juli 2025.

Wakil Wali Kota Tidore, Ahmad Laiman, menyampaikan bahwa Tidore memiliki nilai sejarah yang penting, terbukti dari berbagai peninggalan historis dan arkeologis, baik di darat maupun bawah air. Ia menekankan bahwa pengembangan ekowisata di wilayah ini perlu terintegrasi dengan situs-situs kapal tenggelam, yang potensial dijadikan objek wisata sejarah maritim dan arkeologi bawah laut.

“Konsep arkeologi bawah air harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan perairan dan keutuhan budaya lokal, agar memberi manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat,” ujarnya.

Meski pariwisata di Tidore terus berkembang, Ahmad mengakui bahwa wisata penyelaman bawah air belum menjadi daya tarik utama. Salah satu penyebabnya adalah minimnya informasi mengenai lokasi-lokasi potensial untuk wisata selam, termasuk situs kapal karam yang belum banyak diketahui keberadaannya.

“Tidore dipilih sebagai lokasi utama dalam program ini karena perannya yang sangat penting dalam sejarah Jalur Sutra dan Jalur Rempah Maritim, serta signifikansinya dalam peristiwa The First Circumnavigation of the Earth,” tambahnya.

Sementara itu, perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Maluku Utara, Irwansyah, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan upaya pelestarian situs budaya bawah air sejak tahun 2016. Tahun ini, kolaborasi dengan Flinders University dan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXI akan difokuskan pada ekskavasi situs bawah air di Soasio.

Salah satu temuan penting adalah indikasi keberadaan bangkai kapal kayu di situs Soasio. “Insya Allah, dengan kolaborasi ini, pengelolaan situs bawah air di Soasio dan Tongowai dapat terus dikembangkan dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Tidore,” ujarnya.

Pada 2024 lalu, pihaknya telah menetapkan empat situs cagar budaya bawah air, termasuk Soasio dan Tongowai, yang berisi temuan seperti meriam taparos dan meriam pasca-pengangkatan tahun 2021.

Associate Professor dari Flinders University, Prof. Dr. Martin Polkinghorne, menjelaskan bahwa proyek ini merupakan bagian dari kerja sama antara Flinders University dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia.

Ia menyinggung soal ribuan artefak asal Indonesia yang berada di Australia dan kini sedang dalam proses repatriasi. Melalui program Linkage Project: Reuniting Orphaned Cargoes, pihaknya ingin menilai kembali pentingnya situs kapal karam yang pernah diangkat dan dijarah secara komersial, sekaligus menyusun strategi pengelolaan terpadu yang melibatkan berbagai pihak.

“Tujuan utama proyek ini adalah menciptakan pengelolaan berkelanjutan terhadap warisan budaya bawah air dalam kerangka lanskap budaya maritim,” jelas Martin.