YANG pernah menjadi murid di SD memiliki ingatan nama-nama gunung di Indonesia. Ingatan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian. Padahal, murid yang ingat nama gunung-gunung sebenarnya ingat Indonesia. Artinya, Indonesia adalah negara yang peradabannya dipengaruhi gunung-gunung.
Murid-murid yang belajar tidak diharuskan mengetahui segala mitos bersumber gunung atau sejarah akbar yang dipengaruhi gunung. Namun, murid-murid sempat mengetahui letusan Gunung Krakatau masa silam. Ada lagi yang kepikiran Gunung Tambora. Yang belajar gunung-gunung berarti belajar ilmu bumi atau geografi. Ada beragam penamaan pelajaran yang memasalahkan gunung. Pada masa lalu, gunung mudah ditemukan dalam pelajaran yang disebut IPS. Murid-murid berusaha mengerti letak Gunung Krakatau, Tambora, Merapi, dan lain-lain.
Beberapa hari yang lalu, orang-orang memberi perhatian yang besar untuk Gunung Rinjani. Gunung yang indah tapi bercerita duka. Di sana, ada kematian seorang perempuan yang berasal dari negara asing. Berita yang muncul adalah kisah heroik para penyelamat, yang berhasil menemukan jasad. Murid-murid yang mengikuti berita belum dipastikan mengetahui letak Gunung Rinjani. Apakah gunung itu berada di Jawa, Sumatra, Bali, atau Maluku?
Pada masa lalu, anak-anak yang ingin mengetahui gunung-gunung dapat melihat peta besar dipasang di dinding. Biasanya peta itu terdapat di kantor kepala sekolah, kantor guru, atau kelas. Gambar gunung yang kecil dan huruf-huruf yang kecil membuat anak-anak sedikit mengerti Indonesia. Cara yang lain adalah membuka buku atlas. Buku itu termasuk digemari murid-murid untuk belajar dan main tebak-tebakan. Yang jelas, murid dan peta pernah menimbulkan kepenatan dan kegembiraan. Peta yang digunakan dalam pengajaran sekaligus permainan.
Murid yang sulit paham geografi atau ilmu bumi pasti menghindari masalah peta. Murid mengaku tersiksa dan sulit jika harus mengerjakan soal-soal “peta buta” atau menggambar peta. Publik sempat dihibur oleh pengakuan Pandji Pragiwaksono yang mengenang masa belajar di SD. Ia pernah mendapatkan duit dari Ardie Bakrie, yang sekarang terkenal sebagai pengusaha. Mereka berteman di SD. Pada saat ada tugas menggambar peta Indonesia, Ardi Bakrie meminta digambarkan oleh Pandji. Permintaan yang berbayar. Pandji menuruti dengan membuatkan gambar Pulau Bali. Konon, ia mendapat bayaran 500 rupiah. Kita diingatkan bahwa pengetahuan murid-murid SD mengenai peta terkesan mudah jika bertokoh Pandji atau terkesan sulit jika bertokoh Ardie.
Ingat peta, ingat persaingan peradaban-peradaban besar di dunia. Yang membuka buku berjudul 1421 (2006) garapan Gavin Menzies bakal mengetahui peran peta dalam pelayaran-pelayaran bersejarah, ratusan tahun yang lalu. Peta yang menentukan perdagangan, kekuasaan, iman, dan lain-lain. Gavin Menzies mengisahkan: “Saat itu saya sedang mengerjakan sesuatu yang menguras konsentrasi yakni sejarah Abad Pertengahan, khususnya tentang peta dan bagan dari penjelajah terdahulu. Saya suka meneliti peta-peta kuno, menelusuri gambar garis permukaan lautnya, pesisir pantai, dan bebatuan. Saya mempelajari pasang surut air laut, tarikan arus yang tak terlihat dan jejak-jejak angin besar, mengupas makna yang terkandung dalam peta-peta kuno.” Akhirnya, ia menemukan peta kuno yang dibuat para penjelajah dari China. Peta yang memukau mendahului peta-peta yang dibuat para penjelajah Eropa.
Kita tidak memiliki pengalaman melihat dan mempelajari peta-peta kuno. Melihat peta itu mudah tapi memahaminya itu sulit. Maka, pengetahuan kita mengenai peta biasanya terbatas. Di Indonesia, peta itu telah diajarkan di sekolah-sekolah sejak awal abad XX. Namun, pembuatan peta oleh orang Indonesia dianggap telat, terjadi setelah 1945. Yang pernah belajar sungguh-sungguh tentang peta adalah Adinegoro, yang masa 1930-an tenar lewat tulisan-tulisan yang dibukukan berjudul Melawat ke Barat. Ia adalah pengarang dan jurnalis, sebelum menekuni peta.
Di buku berjudul Pokok-Pokok Pengetahuan Ilmu Bumi (1954), yang sampul depannya memasang gambar peta Indonesia, Adinegoro menjelaskan: “Di Indonesia, ada 125 gunung berapi dan ratusan jang telah mati apinja, jang lama tidak berasap… Di Indonesia dan segala tempat jang banjak gunung berapi, sering timbul gempa bumi atau lindu, kadang-kadang hampir tak terasa, kadang-kadang sangat kuat sehingga meruntuhkan rumah-rumah. Disepandjang retakan bumi, sering terdjadi tanah runtuh dalam bumi, maka timbul pulalah gempa, jang tidak disebabkan oleh gunung meletus…” Pada masa lalu, ilmu bumi itu pelajaran yang penting, yang membuat para murid penasaran ingin mengetahui Indonesia dan dunia.
Kita kembali mengingat Gunung Rinjani. Gunung yang masih terberitakan dengan duka. Pada masa 1950-an, terbit buku berjudul Tanah Airku dan Seluruh Dunia: Kepulauan Sunda Ketjil yang disusun Dt Nan Putih Di Tengah, terbitan Mahabarata, Amsterdam. Buku yang memasalahkan ilmu bumi ditulis dalam bentuk percakapan antara ayah dan anak.
Kita simak penjelasan ayah berkaitan peta dan rencana untuk pengalaman. Pencantuman huruf G: “Betul. G itu berarti gunung. Dan bilangan jang tertulis didekatnja, apa itu?” Si anak menjawab: “Itulah jang menundjukkan betapa tingginja gunung itu.” Jawaban yang benar, membanggakan ayah: “Djadi kitapun dapat membatja djuga pada peta berapa tingginja gunung itu.”
Selanjutnya, yang dijelaskan: “Gunung Agung lebih dari 3000 meter! Dan, Gunung Rindjani hampir 4000 meter! Tidaklah mudah mendakinja. Tetapi siapa tahu, djika kita kesana nanti, barangkali ada djuga waktu kita untuk mendakinja sampai kepuntjaknja. Gunung-gunung inipun bukanlah gunung-gunung biasa, tetapi gunung berapi.” Buku lawas yang mengingatkan Gunung Rinjani.
Kini, buku itu seperti tidak diperlukan lagi dan lumrah terlupakan. Buku yang apik, yang memuat beragam percakapan, yang dilengkapi gambar dan peta. Pada abad XXI, murid-murid atau publik yang ingin mengetahui Gunung Rinjani cukup membuka gawai saja, tidak perlu bersin-bersin dan tangan berdebu saat membuka buku-buku lawas.
*Kabut merupakan nama pena seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.