Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen, kembali menanggapi wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi yang terus disuarakan oleh Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, bersama sekelompok warga.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, Sofifi memang ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara. Namun, secara administratif, wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Kota Tidore Kepulauan yang memiliki pemerintahan serta struktur kesultanan.

“Suka atau tidak, sebagian wilayah Oba, dari Kaiyasa hingga Nuku, termasuk dalam kawasan Aha Kolano. Artinya, Kesultanan Tidore juga memiliki hak historis atas wilayah di daratan Oba,” ujar Wali Kota Muhammad Sinen saat dikonfirmasi, Senin, 21 Juli 2025.

Ia mempertanyakan legalitas gerakan pengumpulan tanda tangan untuk usulan DOB Sofifi. Menurutnya, hingga saat ini, baik Pemerintah Kota maupun DPRD Tidore Kepulauan belum menerima draf resmi usulan tersebut.

“Kalau mau bicara soal DOB, itu proses politik. Jadi kelompok-kelompok yang mengusulkan pemekaran harus datang langsung ke DPRD Tidore untuk menyampaikan usulan secara resmi, bukan hanya lewat petisi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Sinen menjelaskan bahwa usulan tersebut harus melalui tahapan formal: disampaikan ke DPRD, dibahas dan dikaji, lalu diserahkan ke pemerintah daerah. Setelah itu, pemerintah kota akan melibatkan tim ahli untuk mengkaji kelayakan pemekaran.

“Kalau hasil kajian menyebutkan bahwa pemekaran layak, maka barulah kami terima. Kita ini negara hukum, semua harus berdasarkan aturan,” tambahnya.

Ia menegaskan, selama belum ada proses politik yang resmi, Pemerintah Kota tidak bisa menindaklanjuti usulan DOB. Sebagai Wali Kota dan juga wakil dari rakyat bersama Wakil Wali Kota Ahmad Laiman, pihaknya tidak ingin mengambil keputusan tergesa-gesa yang bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.

“Komunikasi antara Pemkot dan Pemprov harus diperbaiki. Tidak bisa tiba-tiba ambil keputusan sepihak bahwa Sofifi harus dimekarkan,” katanya.

Sinen juga menekankan pentingnya penyampaian usulan secara formal, lengkap dengan kajian yuridis dan akademis. “Bicara soal DOB bukan sekadar komunikasi lisan. Harus ada konsep, data, dan kajian yang jelas. Sampai sekarang, tidak ada satu pun usulan tertulis yang kami terima,” ujarnya.

Ia juga menyinggung pengorbanan besar Tidore untuk NKRI. Salah satunya adalah saat ibu kota Papua pernah berkedudukan di Soasio, sebelum dipindahkan ke tanah Papua atas kebaikan Sultan Tidore.

“Wilayah Kota Tidore Kepulauan yang terdiri dari Pulau Tidore dan daratan Oba hanya sekitar 1.700 km². Kalau dipecah jadi dua, apakah layak? Ini bukan soal ibu kota provinsi, tapi soal pemekaran Kota Tidore. Jadi, kalau ada pihak luar yang tidak puas dengan pernyataan saya, silakan datang dan berdiskusi. Pintu saya selalu terbuka,” tutupnya.

Terkait usulan Sultan Tidore soal perubahan nama Kota Sofifi menjadi Kota Tidore Kepulauan, Wali Kota menyatakan akan segera meminta DPRD menindaklanjuti hal tersebut.

“Seharusnya ditulis: Sofifi, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Jangan sampai nama Tidore Kepulauan hilang,” tegasnya.

Pemerintah Kota, tambahnya, juga akan melibatkan tim ahli untuk mengkaji perubahan nama tersebut sebelum diajukan ke pemerintah pusat. “Kami tidak ingin asal bicara tanpa konsep dan data. Kami ingin bekerja secara terukur,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua DPRD Kota Tidore Kepulauan, H. Ade Kama, saat dikonfirmasi, mengaku enggan memberikan komentar lebih jauh soal DOB Sofifi.

“Soal DOB, saya no comment. Kenapa? Karena kami hanya akan merespons kalau ada proses resmi. Sampai sekarang, DPRD belum pernah menerima usulan tertulis apa pun,” tutupnya.