Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 21 ribu anak kasus kekerasan anak di Indonesia pada tahun 2024. Namun di Maluku Utara, angka yang tercatat hanya 274 kasus. Data tersebut dinilai tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, sebab banyak kasus kekerasan anak di daerah kepulauan rempah-rempah ini diduga belum terdata dan tak ditangani.
“Kalau angka 21 ribu, artinya setiap jam ada dua anak Indonesia jadi korban kekerasan. Bisa kita bayangkan bersama, anak mengalami kekerasan, pemulihannya luar biasa sekali, dan itu menjadi beban negara untuk pemulihan. Kalau satu jam ada dua anak, ini artinya bebannya besar sekali,” kata Dian Sasmita, Komisioner KPAI, kepada Kadera di Hotel Emerald, Kota Ternate, Senin, 28 Juli 2025.
Ia mengatakan, angka kekerasan terhadap anak yang rendah bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Sebaliknya, hal itu menjadi indikasi lemahnya pelaporan, pendataan, dan jangkauan terhadap korban anak di setiap daerah.
“Berdasarkan data SIMFONI, kasus kekerasan anak sangat kecil, hanya 274 korban. Pertanyaan kami, anak-anak korban lainnya ini kan berarti tidak terdata. Ketika tidak terdata, artinya anak-anak korban ini tidak mendapatkan akses layanan,” jelas Dian.
Menurut Dian, banyak korban anak bahkan tidak dapat mengakses bantuan sosial yang menjadi hak mereka sebagai penyintas. Hal itu terjadi karena sistem perlindungan dan pendampingan yang tidak memadai di tingkat lokal.
KPAI mendesak pemerintah daerah Maluku Utara agar memperkuat sistem perlindungan anak, terutama di wilayah kepulauan yang sulit dijangkau. Dian menekankan pentingnya kehadiran Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) serta membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di setiap desa.
Ia mendorong agar setiap desa memiliki PATMD dan dukungan anggaran dari pemerintah daerah Provinsi Maluku Utara. Sebab, yang dibutuhkan ialah pekerja sosial, konselor, psikolog, dan bantuan hukumnya untuk mendukung pendampingan korban anak.
“Pemda [harus] memastikan setiap desa untuk menyediakan anggarannya untuk mendukung layanan tersebut,” ujarnya.
Dian mengingatkan, bahwa penanganan kasus kekerasan anak tak cukup bersifat kuratif, tetapi harus dibarengi dengan upaya pencegahan yang serius agar kasus serupa tak terus berulang.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.