YANG pernah menjadi murid SD pada masa Orde Baru mengingat tugas merujuk berita. Mereka diminta membuat kliping yang bersumber koran dan majalah. Murid dianjurkan mencari koran yang ada di rumah atau meminta kepada tetangga. Di tangan, gunting bergerak untuk memotong berita atau artikel yang sesuai dengan penugasan dari guru. Kertas-kertas itu ditempel di buku kliping, yang membuktikan murid sudah “bergaul” dengan berita berdasarkan tema.

Ada murid-murid yang mendapat tugas memberikan kupingnya untuk radio. Guru memberi tugas agar menyimak berita ekonomi. Murid mengalami ketegangan saat ingin berkonsentrasi dan mencatat hal-hal penting yang disampaikan pembaca berita. Tugas yang lucu dan sulit adalah mencatat harga-harga pelbagai komoditas di pasar: dari cabai rawit sampai wortel. Tugas yang juga menegangkan dan mata wajib melek adalah mencatat hal-hal penting dalam berita di televisi. Murid-murid di depan televisi bersama buku dan bolpoin untuk menulis beberapa hal yang muncul di TVRI dalam acara “Dunia Dalam Berita”.

Murid-murid dan berita berkaitan tugas-tugas yang memiliki tujuan. Biasanya guru menyampaikan bahwa membuat kliping dan mencatat berita itu menambah wawasan anak terhadap pendidikan, pariwisata, boga, teknologi, ekonomi, alam, dan lain-lain. Yang mengerjakan tugas sedikit atau banyak akan membaca berita agar dapat menjawab secara lisan jika ditanya oleh guru secara acak. Buku kliping mengesahkan murid-murid penting mengetahui dan mengonsumsi berita.

Masa lalu yang diralat. Maksudnya, sekarang tugas-tugas membuat kliping membolehkan murid mencari di internet. Jadi, tiada kerepotan seperti masa Orde Baru yang menganggap berita adanya dalam koran, majalah, radio, dan televisi. Apakah berita-berita masih penting dalam pengajaran di sekolah, dari SD sampai SMA? Bagaimana murid-murid mengetahui berita dan mementingkannya dalam hidup? Konon, pemaknaan berita tidak lagi seperti dulu. Kita dipaksa mempelajari lagi artinya dalam kehidupan mutakhir, tidak cuma dalam kepentingan tugas di sekolah.

Yang dianjurkan oleh Rolf Dobelli (2021) adalah berhenti membaca berita. Ajakan yang menggebu dengan tujuan-tujuan yang mulia. Ia seperti memberi kepastian kepada kita bahwa berita itu malapetaka. Namun, kita tidak boleh tiba-tiba percaya dan menuruti segala petunjuknya. Hidup tanpa mengonsumsi berita itu kemustahilan? Rolf Dobelli memberi banyak keterangan, argumentasi, dan khotbah yang tampak “melawan” kegemaran menyantap berita pada masa lalu.

Ia berseru: “Ketika dihubungkan dengan hal-hal yang sangat penting dalam hidup, berita tidaklah relevan. Skenario terbaiknya adalah berita memberi hiburan, tapi selain itu, tidak berguna. Dibutuhkan usaha khusus untuk mengambil langkah mental ini.” Kita jangan tergesa-gesa percaya atau menertawakannya. Yang disampaikan mengenai kehidupan masa sekarang yang terlalu berlimpahan berita dari segala arah dan bermunculan setiap detik gara-gara teknologi yang hampir “mahakuasa”. Padahal, orang-orang keranjingan berita meski berulang diingatkan tentang adanya serbuan yang tak pernah putus mengenai “berita bohong” dan sengaja menyesatkan.

Berita masih penting? Berita itu kemutlakkan dalam mengesahkan hidup di zaman terlalu gampang kisruh dan berlumuran dusta? Kita ragu-ragu menjawabnya saat berita-berita (makin) menguasai jutaan orang yang bergawai. Yang jelas, berita tidak tamat atau punah. Abad XXI masih bergolak dengan berita-berita.

Pada suatu masa, kita pernah terpesona media. Kita menginginkan berita-berita, yang tercetak, selanjutnya berita-berita yang terdengar di radio dan dinikmati di kotak televisi. Maka, kita ingat buku yang disusun oleh Asa Briggs dan Peter Burke berjudul Sejarah Sosial Media: Dari Gutenberg Sampai Internet (2006). Yang berdebar dengan berita-berita tercetak ikut membentuk peradaban keaksaraan di Eropa, yang menular ke pelbagai dunia. Terciptalah para pembaca berita yang berada di serambi rumah, ruang tamu, taman, kantor, stasiun, dan lain-lain. Di tangan mereka adalah surat kabar. Hidup bergelimang kabar. Hidup itu bah berita yang tidak pernah surut.

Namun, mereka tidak hanya pembaca surat kabar, Yang terpenting adalah percetakan buku-buku. Artinya, kemunculan pembaca tidak selalu menginginkan berita-berita. Pada situasi dan selera berbeda, kemunculan para pembaca buku menyatakan ketiadaan ketergantungan pada berita-berita. Mereka berhak membaca beragam ide atau imajinasi meski godaan mengikuti berita tetap terjadi hampir setiap hari. Kini, yang cetak “dipaksa” menjadi nostalgia. Berita yang tercetak di kertas malah dituduh “lama” dan enteng dicampakkan.

Kita masih memiliki contoh yang berbeda mengenai berita, bukan lagi di koran atau majalah tapi televisi. Para pembaca novel berjudul Reuni gubahan Alan Lightman mengetahui perbedaan resepsi antara dua tokoh merujuk berita disiarkan di televisi. Mereka selesai bermesraan dan menonton berita dalam televisi. Si tokoh lelaki tampil sinis, berbeda dari kepercayaan yang diterima si perempuan terhadap berita.

Si lelaki menggerutu bahwa berita di televisi adalah “hanya piksel-piksel elektronik”. Selanjutnya, ia memberi sejenis gugatan atas berita ditayangkan di televisi: “Aku sudah putuskan bahwa itulah pencapaian besar abad kita sejauh ini, kita bisa begitu tuntas membanjiri planet ini dengan megabita-megabita, hingga tiap citra dan fakta menjadi hantu tanpa tubuh….” Ia menyimpan marah tapi masih menjaga kesopanan di hadapan perempuan yang masih mementingkan berita dalam kehidupan.

Mereka merusak suasana romantis dengan bahasa yang “disopankan” setelah menonton berita di televisi. Kita yang membaca novel merasa mendapat sindiran dari “takdir” berita yang mulai mendapat perlawanan-perlawanan. Namun, ingatlah bahwa berita-berita belu punah. Di luar novel, perayaan berita masih besar-besaran dan menghebohkan setiap saat. Kita meyakini berita itu keniscayaan.


*Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia