Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda dan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Shanty Alda Nathalia, diduga memiliki keterkaitan dengan kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Nama dua pejabat dan politisi perempuan ini tercatat duduk di kursi direksi dan pemegang saham mayoritas perusahaan tambang di Pulau Gebe.

Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara mengatakan izin tambang nikel milik Sherly dan Shanty melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Dalam aturan tersebut, pulau kecil seperti Pulau Gebe, tidak diperbolehkan ditambang karena kondisi ekologinya sangat rentan dan ekosistemnya harus dilindungi.

Regulasi tersebut juga dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melarang aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. MK menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah-wilayah tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan, melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antar generasi.

“Ketika Antam hengkang sekitar tahun 2003-2004, Pulau Gebe ini mestinya dipulihkan, tapi justru tidak dilakukan. Bekas-bekas lubang yang ditinggalkan oleh PT Antam itu dibiarkan menganga sampai sekarang,” kata Julfikar kepada Kadera, 9 Agustus 2025.

Menurut Julfikar, kerusakan ekologis di Pulau Gebe berdampak pada pesisir, laut, dan kehidupan nelayan. Alih-alih menghentikan eksploitasi, pemerintah justru mengeluarkan izin baru. Saat ini, ada delapan izin usaha pertambangan di Pulau Gebe–termasuk satu di Pulau Fau yang dianggap warga  sebagai “benteng terakhir” perlindungan pesisir.

Julfikar menuding aktivitas tambang di Pulau Gebe yang merusak lingkungan, dan mencemari pulau kecil tersebut juga dari pertambangan milik Sherly dan Shanty.

Dalam dokumen Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Saya Mineral (ESDM), gubernur perempuan Maluku Utara pertama itu tercatat sebagai Komisaris Utama PT Karya Wijaya yang mengendalikan 71 persen saham–termasuk mengalir kepada anak-anaknya. Izin konsesi perusahaan “keluarga” –warisan mendiang suaminya Benny Laos–ini seluas 500 hektare.

Meski tambang milik Sherly ini belum beroperasi, kata Julfikar, tetapi dengan menguasai izin di pulau kecil saja sudah merusak kebijakan dan melawan hukum. Dengan kata lain, Gubernur Malut ini telah mencederai hukum untuk kepentingan bisnisnya. Sementara Shanty, yang pernah diperiksa dalam kasus korupsi izin tambang almarhum Abdul Gani Kasuba, bekas Gubernur Maluku Utara, juga akan sama.

Sementara, politisi kepala banteng itu dapil Jawa Tengah itu tercatat sebagai direktur di PT Smart Marsindo dan PT Aneka Niaga Prima (ANP). Marsindo menguasai lahan di atas sumber mata air warga di Tanjung Ueboelie seluas 666,30 hektare, ANP menguasai konsesi tunggal di Pulau Fau–yang hanya berukuran kurang lebih 900 hektare–dengan konsesi sebesar 500 hektare. Shanty pernah diperiksa dalam kasus korupsi izin tambang almarhum Abdul Gani Kasuba, bekas Gubernur Maluku Utara.

“Dua pejabat dan politisi perempuan ini bakal makin bebal hukum atau tidak tersentuh sama sekali, karena mereka bisa cuci tangan dengan alat kekuasaan. Sherly misalnya, setelah kami periksa, bahkan banyak terhubung dengan perusahaan tambang perusak di daerah lain. Bisa jadi, dia dan politisi PDIP ini tidak akan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan krisis ekologis di Pulau Gebe, karena meski telah melanggar aturan, izin tambang tetap jalan,” jelas Julfikar.

Julfikar tidak berharap apapun dari pemerintah yang tampak sebagai oligarki ketimbang menjadi wakil rakyat. Sebagai pengusaha, Sherly diduga hanya akan memperluas bisnis dan mengakumulasi kekayaannya untuk keluarga, bukan untuk rakyat Maluku Utara.

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter