PADA hari-hari awal Agustus, kampung atau desa menjadi sibuk. Konon, warga membuat beragam acara untuk peringatan Hari Kemerdekaan. Mereka berani urun uang dan tenaga demi terjadinya perubahan pemandangan di kawasan hunian mereka. Yang paling tampak adalah jalan. Kibaran bendera dan spanduk memberi pengesahan Agustus. Gapura pun tampil menawan. Ada beberapa hal yang istimewa, yang membedakan dengan bulan-bulan lainnya.
Kesibukan yang rutin adalah lomba. Namun, ada yang menganggap perayaan Hari Kemerdekaan adalah keberanian dan kesungguhan. Maka, ibu-ibu bersepakat membentuk paduan suara yang nanti tampil di panggung kemerdekaan. Mereka berlatih bareng membawakan lagu-lagu nasional, kebangsaan, dan daerah. Yang wajib adalah lagu berjudul Indonesia Raya.
Masalah suara tidak terlalu menimbulkan perdebatan. Yang seru adalah menentukan busana atau pakaian saat mereka berada di panggung. Usulan-usulan yang diberikan tidak mudah mencapai mufakat. Serbuan argumentasi membuat masalah pakaian terlalu penting, melebihi kerelaan dan lelah untuk mengartikan Indonesia selama Agustus. Lumrah saja bila pakaian yang seragam ikut menentukan kompak, indah, dan nasionalis. Yang dipikirkan adalah mode dan warna.
Kesibukan menentukan pakaian berbeda dengan kebijakan rezim yang lalu. Kita biasa melihat penguasa, pejabat, dan tamu mengenakan busana adat saat upacara resmi Hari Kemerdekaan. Pakaian yang dikenakan presiden dan istri gampang menjadi sumber berita. Para menteri dan pejabat penting ikut tampil secara berbeda dari pakaian dinas harian. Bagaimana mereka memastikan relasi pakaian dan kemerdekaan? Berita-berita yang bermunculan malah pakaian, mengalahkan isi pidato atau gembar-gembor tema. Para pengamat mode dan kebudayaan dihadirkan agar memberi komentar atas pameran busana atau pakaian selama upacara yang serius. Akhirnya, merdeka itu pakaian?
Kita jangan menanyakan masalah dana, penjahit, desainer, dan lain-lain. Beberapa tahun yang lalu, publik terbiasa menerima pesan besar tentang merdeka adalah busana. Opini-opini pun bertebaran, yang membuat kehebohan mengandung pujian dan kritik. Apakah segala yang menjadi kebijakan itu memiliki sumber atau akar sejarah? Jawabannya pasti rumit dan tidak lengkap. Kita boleh ikut menjawab tapi teringat kesibukan dan selera busana yang menimbulkan perdebatan di kampung atau desa. Ibu-ibu yang sadar busana dilengkapi bapak atau anak yang ikut parade. Mereka menginginkan berpakaian selera revolusi. Artinya, yang dikenakan ingin sesuai gaya pada masa kolonial atau masa revolusi.
Kita lumrah melihat kaum lelaki berbusana gaya Soekarno. Ada yang memilih berbusana dan berdandan mirip pejuang. Yang perempuan meniru Fatmawati atau SK Trimurti yang hadir dalam peristiwa bersejarah, 17 Agustus 1945? Pilihan yang terbatas. Foto-foto lama menampilkan kaum perempuan yang berkebaya. Busana itu merdeka tapi memicu memori dan resepsi berbeda berdasarkan referensi-referensi yang dimiliki.
Malcolm Barnad (2007) mengingatkan bahwa pakaian menjadi pernyataan atau siasat mengomunikasikan beragam hal. Yang dikenakan tak sekadar raihan atas kenyamanan dan keindahan. Di tatapan mata dan fungsionalisasi, pakaian tak terbiarkan sekadar mode, warna, dan ukuran. Pakaian adalah komunikasi memicu kesadaran rumit, yang tidak mudah bagi kita menentukan ketetapan dan “kebenaran”.
Jadi, pengalaman kita mengenai busana dan merdeka semestinya menguak sejarah, ideologi, estetika, etnisitas, dan lain-lain. Kita kadang malah mengabaikan pesan-pesan tercipta, yang menyerbu saat anjuran mengartikan kemerdekaan dalam pengulangan yang menjemukan. Di Indonesia, pakaian adalah instruksi, yang menyebabkan orang-orang mematuhi tanpa keharusan mengusut bawaan pengertian dari sejarah dan upaya “pemutakhiran” akibat perayaan di abad yang terlalu “mengutuk” ketimbang babak 1945.
Siapakah kita yang berpakaian macam-macam saat perayaan kemerdekaan? Ada yang mengenakannya saat upacara, lomba, pentas seni, seminar, dan lain-lain. Pergantian pakaian berarti pergantian pesan? Apakah komunikasinya bisa bolak-balik atau amburadul?
Denys Lombard (1996) mengingatkan tentang “pembaratan” berlaku dalam pakaian di Indonesia. Yang kentara sejak awal abad XX saat dunia tampak terlalu berubah dan zaman terus bergerak. Kemunculan elite politik dan kaum terpelajar memudahkan Barat yang dilazimkan melalui pakaian. Pada peristiwa-peristiwa penting dan dianggap menentukan sejarah, pakaian senantiasa memiliki peran yang tidak boleh diabaikan. Kita harus melihat ulang foto-foto lama sambil membayangkan dan menilai segala rupa pakaian yang digunakan selama masa kolonial dan masa revolusi. Soekarno dan Hatta yang selalu diingat dalam peristiwa pembacaan teks proklamasi tidak berpakaian adat. Yang disajikan adalah kesadaran mereka atas modernitas, yang mengomunikasikan Barat telah diterima dan selaras dalam arus pemuliaan Indonesia.
Agustus itu kemerdekaan dan pakaian? Mereka yang tidak ingin cuma mengenakan memilih membuat dokumentasi dengan kamera. Dampaknya adalah pameran di media sosial, yang mengakibatkan pakaian dalam kancah pujian dan cibiran. Yang mengenakan merasa istimewa. Pakaian itu tidak digunakan setiap hari, sengaja hanya untuk perayaan kemerdekaan. Keistimewaan yang mencipta makna-makna seolah pasti sekaligus terbatas.
Kita memikirkan penjelasan Rudolf Mrazek (2005). Yang terjadi pada masa lalu adalah nasionalisme dan kenecisan. Barat sangat berpengaruh saat ide-ide nasionalisme bertumbuh. Tokoh-tokoh yang menyatakan dan berada dalam arus pembentukan Indonesia sadar kenecisan. Hal itu memberi tanda-tanda besar atas perubahan yang berlangsung di Indonesia. Maka, kita terbiasa melihat pakaian kaum terpelajar dan kaum pergerakan politik menimbulkan kebingungan antara pembaratan dan perlawanan atas kolonialisme.
Kini, kita tidak betah merenungkan atau memikirkannya. Padahal, kesibukan dan debat berpakaian masih terjadi dalam peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Kita memilih menyerah ketimbang dipusingkan adanya pesan dan penjelasan berpakaian yang malah mengaburkan sejarah. Mereka yang memilih berpakaian istimewa demi ingatan merdeka justru mudah abai sejarah. Mereka tergoda untuk meraih pujian dan mencipta dokumentasi semu yang melelahkan.
*Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.