Puluhan warga yang tergabung dalam Gerakan #SaveBobo berkumpul di Balai Desa Bobo, Kecamatan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, pada Kamis, 14 Agustus 2025. Mereka memprotes acara sosialisasi perusahaan tambang nikel PT Karya Tambang Sentosa (KTS), perusahaan yang terafiliasi dengan raksasa nikel PT Harita Group.
Sebagian besar perempuan dan pemuda berdiri membentangkan umbul-umbul protes tertulis “Kami Menolak Perusahaan Masuk di Desa Bobo”, “Selamatkan Desa Bobo #SaveBobo”, “Hutan adalah Rumah Kami”, “ Tolak-Tolak PT IMS”, dan “Save Bobo: Tolak PT IMS”.
“Kami tidak datang untuk mendengar janji, tapi sebaliknya kami protes demi mempertahankan dan menjaga kampung dari tambang nikel,” jelas Mersye Pattipuluhu, Jemaat Desa Bobo, sebagaimana dikutip dari siaran pers Kamis ini.
Menurut Mersye, warga menolak tambang dengan alasan kuat berdasarkan pengalaman di beberapa desa yang mengalami nasib buruk setelah tambang beroperasi. Selain itu, kata Mersye, tidak ada jaminan di masa depan perusahaan akan menepati janjinya.
Tak hanya itu, kekhawatiran Mersye, juga karena pada dasarnya operasi tambang nikel selalu menimbulkan kerusakan ekosistem seperti perusakan hutan, pencemaran air, sungai, dan laut, hilangnya kebun rakyat, rusaknya pesisir, hingga memburuknya kesehatan warga.
“Artinya, kehidupan, tanah, air, udara, dan masa depan generasi kami tidak dapat ditukar dan negosiasikan dengan alasan sempit maupun iming-iming kosong sekaligus menyesatkan atas nama pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan omong kosong,” jelas Mersye.
Dia juga khawatir, operasi tambang juga akan membuat laut yang merupakan ruang tangkap nelayan akan tercemar dan tergerus, dan itu bisa membuat aktivitas melaut menjadi semakin jauh hingga mengakibatkan biaya produksi membengkak, pun bersamaan dengan hasil tangkapan yang menurun drastis.
“Sementara di sisi lain, keuntungan dari operasi tambang yang dijalankan justru hanya dinikmati oleh segelintir elit dan korporasi.”

Pdt. Esrom Lakoruhut, Ketua Klasis Pulau-Pulau Obi, menambahkan pengalaman buruk itu bercermin dari nasib warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, dimana telah terjadi kerusakan akibat penambangan dan produksi pabrik nikel Harita Group. Perusahaan ini telah merusak hutan, pesisir, dan ruang tangkap nelayan, termasuk perkebunan, sumber air, hingga mencemari udara.
“Yang terburuk di Kawasi adalah warga dikriminalisasi, bahkan saat ini sedang dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka sendiri,” jelas Pdt. Esrom.
Tragedi ekologi dan sosial di Kawasi, jelas Ersom, adalah peringatan keras bagi warga Desa Bobo. Oleh karena itu, Gerakan #SaveBobo secara tegas menolak menjadi korban berikutnya dari ekspansi tambang nikel. Penolakan ini jelas bersifat total, tanpa syarat, dan tidak dapat dinegosiasikan.
Vecky Kumanirem, Ketua Gerakan #SaveBobo, mengatakan berkaitan dengan hal-hal atau izin yang administrasi, bahwa itu hanyalah formalitas prosedural, yang tidak menjamin perlindungan terhadap warga dan lingkungan. Dengan begitu, maka penolakan kami berakar pada hak dasar kami untuk hidup layak di lingkungan yang sehat, sebagaimana dijamin dalam Konstitusi Indonesia.
“Atas itu, maka kami menyatakan secara tegas dan bulat: menolak kehadiran PT Intim Mining Sentosa ataupun Karya Tambang Sentosa di Desa Bobo. Kami menyerukan kepada seluruh pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, untuk menghormati hak-hak warga di Desa Bobo dan menghentikan seluruh upaya pemaksaan operasi pertambangan di wilayah kami,” jelas Vecky.
Dalam penelusuran Koalisi Gerakan #SaveBobo menemukan jejak perusahaan tambang PT KTS terhubung dan mengarah ke jaringan korporasi yang sudah lama bercokol di Pulau Obi yaitu, PT Intim Mining Sentosa (IMS) yang memiliki 49% saham, dan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NKCL) memiliki 36% saham, serta PT Banyu Bumi Makmur memegang 15% saham, yang semuanya itu terhubung dengan konglomerasi Harita Nickel.
Adapun sosialisasi itu dihadiri oleh jajaran penting perusahaan yakni Sandes Tambun (Direktur Utama), Arnoldus Wea (Manager Eksternal), Jefri Siahaan yang mewakili direksi pemegang saham sekaligus ahli pertambangan, serta Faisal selaku Kepala Teknik Tambang. Sedangkan dari unsur pemerintahan, terdiri dari Kepala Desa Bobo, Zeth Jems Totononu, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Bobo, Nandis Kurama, serta Kepala Disnakertrans Halmahera Selatan, Noce Totononu.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.