Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, menghentikan proses pemeriksaan hukum perkara sebelas pejuang lingkungan masyarakat adat Maba Sangaji. Alasan tim hukum, kasus tersebut termasuk kategori strategic lawsuit against public participation atau SLAPP.
Wetub Toatubun, kuasa hukum warga mengatakan, Anti-SLAAP mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan. Pedoman ini diterbitkan juga mengacu dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Alasan kami memberikan eksepsi [nota keberatan] kepada PN Soasio karena kami berpandangan bahwa warga Maba Sangaji aktif membela dan memperjuangkan lingkungan mereka dari kerusakan yang diduga dilakukan oleh PT.Position. Artinya PN Soasio sudah seharusnya mengadili perkara yang sedang bergulir wajib bersandar peraturan tersebut,” jelas Wetub dalam keterangan tertulis yang diterima Kadera, Kamis, 14 Agustus 2025.
Dalam eksepsi yang diajukan, kata Wetub, juga menyatakan bahwa surat dakwaan jaksa penuntut umum “tidak cemat, jelas, dan lengkap”: Pertama, perbuatan pidana para terdakwa tidak diuraikan dengan jelas dan lengkap berdasarkan pasal yang didakwakan, dan kedua, penuntut umum keliru menerapkan pasal dakwaan.
Wetub juga menerangkap, lima orang saksi–dua saksi anggota Polri dari Polda Maluku Utara dan Polres Halmahera Timur, dua saksi karyawan PT Position, dan satu saksi Sangaji Maba–dalam keterangan dalam sidang pemeriksaan saksi dan eksepsi di PN Soasio, Rabu, 13 Agustus 2025, sangat positif.
Fakta sidang
Wetub menerangkan fakta sidang terungkap bahwa, pertama, sebelas warga tidak membawa senjata tajam (sajam) yang berniat untuk menyerang atau mengancam aparat dan karyawan, tapi sebelas warga membawa sajam sudah menjadi kebiasaan warga dan menjadi keutuhan ketika masuk ke kebun atau hutan.
“Jadi dakawaan yang dibuat oleh jaksa mengenai pasal 2 ayat (1) UU darurat tidak terbukti,” jelas Wetub.
Kedua, dalam persidangan telah dijelaskan juga oleh para saksi bahwa, sebelas warga tidak melakukan unjuk rasa seperti yang didakwakan oleh jaksa, bahwa warga ke lokasi hutan adat mereka ingin bertemu dan dan memberikan surat keberatan, tuntutan adat dan menyelenggarakan ritual adat.
Ketiga, saksi dari Sangaji Maba menjelaskan bahwa, sebelas warga adalah masyarakat adat dan apa yang dilakukan sebelas terdakwa tersebut merupakan prosesi adat dan juga bagian dari menjaga hutan dan sungai Maba Sangaj, tegas di sampaikan Sangaji Maba.
Sekadar diketahui, dalam dakwaan, sepuluh warga dengan nomor perkara 99/Pid.Sus/2025/PNSos sampai 108/Pid.Sus/2025/PNSos dituduh “membawa senjata tajam tanpa hak” (melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951); dan “merintangi atau mengganggu aktivitas pertambangan” (Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Sementara, empat orang lain dengan perkara nomor 109/Pid.B/2025/PNSos–Sahil Abubakar, Indrasani Ilham, Alauddin Salamuddin, dan Nahrawi Salamuddin, dijerat pasal berlapis, termasuk tuduhan pemerasan (Pasal 368 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP). Perkara empat orang ini yang diajukan eksepsi.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.