Bendera adat Maba Sangaji, lengkap dengan tiang, tergeletak di lantai ruang sidang Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Letaknya persisi di depan meja hakim, dijadikan barang bukti dalam perkara sebelas masyarakat adat Maba Sangaji.

Umar Manado, tokoh adat yang duduk di kursi terdakwa, memandang bendera itu dengan wajah kaku. Ia menahan kecewa menunggu giliran bicara di hadapan majelis hakim. Umar bersama sepuluh masyarakat adat hadir saat pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Soasio, pada Rabu, 13 Agustus 2025.

Hari itu, jaksa penuntut umum menghadirkan lima saksi: dua polisi dari Polres Halmahera Timur dan Polda Maluku Utara, dua orang dari PT Position, dan satu tokoh adat Sangaji Maba. Suasana sidang tegang meski ruangan itu berpendingin.

Bahrun Sahupala, polisi dari Polres Halmahera Timur, mengaku memimpin tim bersama 14 anggota untuk mengamankan “unjuk rasa” masyarakat adat di lokasi yang diklaim wilayah penambangan PT Position pada 16-18 Mei 2025. Pengakuan Bahrun membuat Umar bersama sepuluh masyarakat adat dengan pengikat kepala merah dalam ruang sidang bereaksi.

“Saya keberatan yang tadi saksi (Bahrun) bilang, bahwa tong [kita] usir-usir orang kerja itu,” sanggah Umar saat diberi kesempatan bicara. Ia juga menegur hakim karena bendera adat dibiarkan tergeletak di lantai. “Keberatan kedua, bendera adat kong tampung-tampung begitu [tergeletak di lantai],” ujar Umar menatap ke arah jaska. Sidang mendadak hening. Bendera pun dipindahkan ke belakang meja jaksa dengan posisi berdiri.

Sidang kedua perkara sebelas pejuang lingkungan masyarakat adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore Kepulauan, pada Rabu, 13 Agustus 2025. Sidang terkait pembacaan eksepsi atau nota keberatan dan pemeriksaan saksi dari jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Halmahera Timur. Foto: La Ode Zulmin/Kadera.id

Bahrun menceritakan, pada 16 Mei saat datang di lokasi telah mendapati warga mendirikan tenda di jalan masuk  wilayah tambang sambil menunggu perwakilan perusahaan. Hari kedua masih sama meski ada patroli warga. Hari ketiga, warga membacakan tuntutan dan bersiap menancapkan bendera adat, sebagai ritual protes yang dimaksudkan untuk menghentikan aktivitas pertambangan.

Menurut Bahrun, penangkapan bukan karena senjata tajam, melainkan adu mulut dan nyaris baku pukul dengan polisi. “Sebagai antisipasinya karena hampir terjadi perkelahian, sejumlah langsung dibawa ke Ditreskrimum Polda Malut,” ungkapnya.

Parang dan tombak ditemukan di tenda, sementara pisau dan busur baru disita setelah warga ditangkap. Tidak ada yang digunakan untuk melukai pekerja atau polisi yang ada di lokasi. “Kalau bahasa pengancaman tidak ada, cuman bahasa pemberhentian perusahaan,” ungkapnya.

Saksi kedua, Riski Ramdani dari Polda Maluku Utara, membenarkan bahwa warga membawa senjata tajam itu hal biasa. “Kalau untuk menyusuri hutan, pasti wajar membawa sajam,” jelas Riski.

Ia juga mengakui bahwa pada saat proses ritual adat dan pembacaan tuntutan adat, polisi dan warga telah negosiasi untuk meninggalkan senjata tajam: sajam warga dibiarkan di tenda, saja polisi juga sebaliknya diamankan. Namun, ia melarang penancapan bendera adat karena diyakini bisa menghentikan aktivitas perusahaan.

“Saat itu mereka mau bertemu dengan perwakilan perusahaan dan melakukan ritual adat. Dan, langsung kami amankan mereka, karena, sepengetahuan saya, apabila ritual adat itu sudah terjadi dan tiang bendera adat sudah terpasang, maka aktivitas perusahaan itu tidak akan berjalan,” ungkapnya.

Setelah adu mulut, warga langsung dibawa ke Polda Maluku Utara dengan mobil milik PT Position dan PT IWIP. Beberapa warga mengaku mendapatkan kekerasan aparat, tetapi Riski mengkalim tidak melihat ada warga yang babak belur. “Tidak ada. Apa yang saya lihat saya bilang. Kami sudah disumpah. Yang tidak saya lihat, tidak mungkin saya tambah-tambah,” ujar Riski menjawab pertanyaan Maharani Caroline, kuasa hukum warga.

Saksi Heri Riadi, dari pihak perusahaan membenarkan tidak ada ancaman sajam saat warga membaca tuntutan dan melakukan ritual adat. Ia bahkan menerima langsung surat tuntutan, salah satunya permintaan ganti rugi dalam denda adat sebesar Rp5 miliar. Heri juga mengaku perusahaan membayar lahan dengan harga Rp1.500 per meter karena menganggapnya hutan, bukan kebun warga.

”Saat membaca tuntutan, saya tidak takut karena sudah tidak ada sajam.” kata Heri, “Salah satunya menuntut 5 miliar. Hanya itu yang saya ingat.”

Maharani mempertanyakan dasar penangkapan jika memang alasan senjata tajam tidak kuat. Ia mencecar mencecar dua saksi polisi tersebut dengan pertanyaan dan menyoal penangkapan warga Maba Sangaji yang dijerat Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam.

Menurutnya, mestinya jika penangkapan karena senjata tajam, mestinya masyarakat Maba Sangaji sudah diamankan sejak hari pertama dan hari kedua. Namun, anehnya, penangkapan di hari ketiga justru dilakukan saat ritual adat, dan tidak ada pengancaman dari warga dengan menggunakan sajam.

“Kenapa mereka [warga Maba Sangaji] ditangkap pada tanggap 18 Mei 2025? Apakah mereka menggunakan sajam kemudian di tangkap atau seperti apa?” tanya Maharani kepada Bahrun dalam sidang tersebut.

Wetub Woetubun, pengacara warga ikut menyoalkan pernyataan Riski yang mengklaim warga menghalang-halangi aktivitas pertambangan pada hari kedua dan hari ketiga. Sebab, dua hari tersebut warga tidak melakukan aksi menghalangi perusahaan. Menurut Wetub, sejak tahap penyelidikan kasus ini proses hukumnya sudah catat dan bermasalah.

”Padahal dari tanggal 17-18 seperti yang saudara sampaikan tidak ada aktiviyas pertambangan lagi. Artinya, saudara menyampaikan pendapat saudara ini kontradiktif, karena anda bilang menghalang-halangi, padahal tanggal 17 dan 18 tidak ada aktivitas pertambangan,” tegas Wetub membantah pernyataan dari Riski.

Sekadar diketahui, dalam dakwaan, sepuluh warga dengan nomor perkara 99/Pid.Sus/2025/PNSos sampai 108/Pid.Sus/2025/PNSos dituduh “membawa senjata tajam tanpa hak” (melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951); dan “merintangi atau mengganggu aktivitas pertambangan” (Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Sementara, empat orang lain dengan perkara nomor 109/Pid.B/2025/PNSos–Sahil Abubakar, Indrasani Ilham, Alauddin Salamuddin, dan Nahrawi Salamuddin, dijerat pasal berlapis, termasuk tuduhan pemerasan (Pasal 368 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP). Perkara empat orang ini yang diajukan eksepsi.

Rabul Sawal
Editor
La Ode Zulmin
Reporter