Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara membantah pernyataan Polda Maluku Utara dalam siaran pers berjudul “Sinergi Polda Malut-WALHI: Selamatkan Lingkungan, Tindak Tambang Emas Ilegal” yang dirilis pada 14 Agustus 2025.

WALHI menyebut isi siaran pers tersebut keliru dan tidak mencerminkan substansi pertemuan mereka dengan Kapolda Malut pada 13 Agustus 2025.

Direktur Eksekutif WALHI Maluku Utara, Faizal Ratuela menjelaskan, pertemuan tersebut merupakan respons atas surat resmi WALHI bernomor 081/Adv./ED/Walhi-Malut/VII/2025 yang dikirim pada 22 Juli 2025. Surat itu dikirim setelah sejumlah intel Brimob Polda Malut mendatangi kantor WALHI, menyusul pemutaran film dokumenter TV Tempo berjudul “Yang Mengalir di Kawasi” di Bioskop XXI Jatiland Mall, Ternate, pada 14 Juli 2025.

Dalam pertemuan itu, WALHI menegaskan kepada Kapolda bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan harus dilakukan secara adil tanpa pandang bulu. WALHI juga memaparkan pendekatan advokasi mereka dalam menyelamatkan lingkungan dari eksploitasi industri ekstraktif, terutama pertambangan nikel di Maluku Utara.

“Di wilayah kerja kami, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan di Pulau Obi, banyak terjadi pelanggaran lingkungan dan HAM akibat aktivitas pertambangan nikel yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN),” ujar Faizal, melalui rilis kepada Kadera.id, Sabtu, 16 Agustus 2025.

Ia menambahkan, advokasi WALHI di kawasan tersebut kerap bersinggungan langsung dengan aparat penegak hukum. Menurut Faizal, lemahnya pengawasan negara dan penegakan hukum terhadap perusahaan tambang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM. Ia mencontohkan PT IWIP di Halmahera Tengah, PT Harita Nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, dan sejumlah perusahaan tambang di Halmahera Timur.

“Hasil riset WALHI menunjukkan adanya kandungan logam berat jenis merkuri dan kromium heksavalen di kawasan pertambangan PT IWIP dan Harita Nikel. Bahkan ditemukan di sumber air minum warga di Desa Kawasi,” jelas Faizal.

Lebih lanjut, Faizal memaparkan bahwa intensitas banjir di Desa Kawasi, lokasi operasi PT Harita Nikel, meningkat tajam pada Juni 2025, terjadi tiga kali akibat meluapnya tanggul kolam sedimen milik perusahaan. Banjir ini merendam permukiman dan kebun warga, menimbulkan kerugian yang belum ditangani secara tuntas oleh perusahaan.

“Penanganan oleh perusahaan hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah. Warga yang menyuarakan protes justru dikriminalisasi,” ungkap Faizal.

Ia juga menyayangkan pelaporan terhadap empat warga Kawasi ke Polres Halmahera Selatan. Keempatnya dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik dan pemalangan jalan karena terlibat dalam advokasi bersama WALHI untuk memperjuangkan hak atas ruang hidup yang terampas.

“Advokasi lingkungan tidak bisa dipidana karena dilindungi oleh negara. Hal ini jelas tertuang dalam Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum bagi Orang yang Memperjuangkan Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat,” tegas Faizal.

Ia menekankan, perjuangan masyarakat terhadap tambang di Maluku Utara merupakan amanat undang-undang, seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Kehutanan, hingga Putusan MK No. 35 tentang pengakuan hutan adat.

“Penanganan konflik agraria antara masyarakat dan investasi pertambangan harus mengedepankan pendekatan persuasif. Penegak hukum, khususnya kepolisian, seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan sebaliknya,” tutup Faizal.