SEKARANG, mikrofon ada di pelbagai tempat. Orang-orang mudah memegang dan menguasai mikrofon dalam banyak kepentingan. Yang berada di depan mikrofon adalah orang yang bicara. Ia memiliki penampilan dan cara dalam mengungkapkan kata-kata. Apa-apa yang diucapkanya akan terdengar keras, sampai ke telinga-telinga orang yang berada di tempat jauh. Mikrofon dan segala mesin suara menjadikan omongan dalam “rezim volume.” Artinya, yang menggelegar dan lantang dianggap berkuasa ketimbang yang lirih. Mikrofon mengakibatkan orang-orang rajin berpidato. Mereka dalam persaingan volumen untuk telinga.
Di setiap acara resmi, kita mengetahui pembawa acara menyebut nama tokoh. Tokoh yang dipersilakan berada di panggung atau mimbar. Di depannya adalah mikrofon. Maksudnya, peristiwa bicara dengan mikrofon yang dijuduli sambutan, pidato, ceramah, atau khotbah. Yang bicara biasa dianggap terpenting, terhormat, dan terbaik. Maka, yang ada di depannya adalah jamaah, warga, pengagum, atau penggemar. Apakah kata-kata yang diucapkannya menjamin mutu untuk telinga yang mendengar selama beberapa menit?
Pada suatu masa, telinga-telinga di Indonesia mendengarkan pidato-pidato yang diberikan Soekarno. Mereka dalam zaman yang mesin atau teknologi suara mulai berkembang. Berbeda dengan masa kolonial saat para tokoh mengadakan pidato di pelbagai tempat. Pidato yang diberikan memukau tapi alat-alat masih sederhana. Pada saat Soekarno berkuasa, pidato dilaksanakan dengan beragam alat atau mesin yang memungkinkan bisa disimak jutaan orang. Pidato pun direkam agar membentuk album dokumentasi.
Yang berpidato di Indonesia tidak hanya Soekarno. Sejak awal abad XX, para tokoh dalam agenda politik melawan kolonialisme rajin berpidato. Mereka mengobarkan gagasan dengan bahasa yang mudah sampai di kepala dan benak massa. Ada juga yang berpidato dalam kepentingan agama. Tokoh-tokoh itu tampil dengan busana yang khas, Namun, yang terpenting adalah jenis suara, pilihan bahasa, dan siasat dramatik.
Artinya, sejarah Indonesia dibentuk oleh pidato-pidato, selain membaranya ide-ide melalui surat kabar? Mengapa mereka memilih pidato. Jawaban sementara: jumlah bumiputra yang melek aksara masih sedikit. Mereka masih dalam kultur lisan, yang memungkinkan pidato-pidato mendapatkan sambutan besar dan dampaknya kuat. Pidato menggerakkan ideologi dan usaha membesarkan misi-misi, yang tidak sepenuhnya dapat diandalkan melalui tulisan-tulisan.
Sejarah adalah pidato-pidato, yang tidak semuanya bisa terdokumentasi melalui rekaman suara. Teks-teks untuk pidato masih bisa dilacak. Pemberitaan mengenai pidato-pidato dapat dikumpulkan di pelbagai surat kabar lama. Biografi para tokoh yang memikat dalam pidato terbaca dalam buku-buku yang sekadar memberi keterangan terbatas.
Kini, Agustus. Yang teringat adalah pidato-pidato dalam kepentingan peringatan Hari Kemerdekaan. Dulu, yang rajin berpidato adalah Soekarno. Selanjutnya, yang “kelebihan” memberi pidato adalah Soeharto. Habibie cuma sedikit memberi pidato. Gus Dur saat berkuasa, pidatonya mengejutkan dan mengandung humor. Pada masa-masa sesudahnya, para presiden wajib berpidato saat Agustus. Pidato yang segera mendapat tanggapan dari pengamat politik atau lawan politik.
Pada 2025, yang tampil memberi pidato adalah Prabowo Subianto. Namun, kita belum ingin mengomentari pidato-pidato Prabowo Subianto. Kita mengenang saja Soekarno dengan pidato-pidato masa silam. Yang kita telusuri adalah teks, bukan rekaman pidatonya. Kita menemukannya dalam buku-buku, yang awalnya diterbitkan oleh Departemen Penerangan, yang disusul oleh penerbit-penerbit lain.
Pada 17 Agustus 1956, Soekarno mengawali pidato dengan kenangan: “Di bawah kepulan asap peperangan yang masih kemelun di udara Indonesia sebelas tahun yang lalu menyatakan kemerdekaannya. Bukan sinarnya purnama sasi yang mengiringi Proklamasi itu. Bukan nyanyian merdu yang merayu. Sebaliknya, gempa peperangan masih terasa. Api revolusi rakyat meledak sekaligus gemerincingnya pedang dan pekiknya barisan-barisan bambu runcing memenuhi angkasa. Ledakan bom dan granat menjadi pengalaman sehari-hari.” Yang diceritakannya itu berkaitan 1945. Soekarno tentu menyajikan fakta tapi ada pula yang menemukan ada “fiksi.
Pidato Soekarno kadang meminta jawaban kepada ribuan orang yang hadir. Soekarno yang bertanya. Sosok mahir mengobarkan revolusi itu punya kekuatan dalam membuat pertanyaan-pertanyaan. Jawaban yang benar pasti juga dimiliki tapi menanti dulu dari jawaban yang hadir.
Pada 1960, Soekarno yang merayakan Hari Kemerdekaan mengucapkan: “Ya! Kalau mau hancur lebur, buat apa mengadakan Proklamasi? Kalau mau hancur lebur buat apa mengadakan revolusi? Kalau mau hancur lebur, buat apa tidak tunduk saja kepada DI-TII dan kepada PRRI dan Permesta? Kalau mau hancur lebur, buat apa tidak menurut saja kepada kehendaknya makelar gelap dari mereka itu, yang mau meneruskan sistem bejat liberalisme dalam negara kita ini?” Bayangkan ketegangan yang tercipta akibat pidato Soekarno.
Soekarno memiliki banyak orang yang mengaguminya. Namun, ia pun memiliki barisan pembenci. Pidato-pidatonya digunakan untuk menantang atau memberi pesan kepada para pembencinya agar tidak main-main. Isi pidato yang terpenting adalah mengajak jutaan orang percaya revolusi. Soekarno saat berpidato bila tanpa mengucap revolusi rasanya mustahil.
Pada 17 Agustus 1965, sebelum segalanya berantakan, Soekarno masih bicara lantang. Di teks sambil membayangkan adegan Soekarno, kita membaca sambil mengingat sejarah: “Hari ini, detik ini, rasa hatiku luluh menjadi satu dengan hati rakyatku, dengan hati tanah airku, dengan hati revolusi. Pikiran dan perasaanku berpadu dengan pikiran dan perasaan semua saja yang mencintai dan membela Indonesia, tanah tumpah darah kita, di kota-kota dan desa-desa, di gunung-gunung dan di pantai-pantai….”
Setelah itu Soekarno masih memberi pidato bertahun 1966, pidato yang memperingati Hari Kemerdekaan. Nasib tak selalu terang. Ia tidak selamanya menjadi presiden dan menambah koleksi pidato.
Pada setiap Agustus, kita masih tergoda membaca teks-teks pidato Soekarno ketimbang membuka ratusan halaman yang berjudul pidato Soeharto. Konon, pesona pidato di Indonesia makin pudar setelah Soekarno. Sekarang, kita menikmati pidato-pidato Prabowo Subianto yang tampak terpengaruh dengan gaya Soekarno. Peniruan terjadi meski Prabowo Subianto ingin tampil secara istimewa. Soekarno belum musnah bagi Indonesia yang tetap berpesta mikrofon dan mencipta negara sejuta pidato.
*Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.