PADA 17 Agustus 2025, tangan penguasa itu memegang kertas yang terbuka. Sosok yang sedang gencar memberi pidato-pidato. Di Istana Kepresidenan, Prabowo Subianto menambah peran menjadi pembaca teks Proklamasi. Lelaki yang berkalung bunga melati dan berpeci warna hitam itu lantang dan lancar membaca tulisan-tulisan yang tercantum di kertas. Pada saat membaca teks Proklamasi, tokoh itu Presiden RI.
Kejadian yang berbeda, 80 tahun yang lalu. Soekarno berdiri di serambi rumah. Dandanannya rapi dan berwibawa. Ia membacakan teks Proklamasi sebagai pemimpin, belum Presiden RI. Kertas yang dipegang Soekarno dan Prabowo Subianto berbeda, termasuk cara tangan memegang. Dulu, Soekarno mengetahui kertas bersejarah, yang berupa tulisan tangannya atau dibuat dengan jari-jari di mesin tik oleh Sayuti Melik. Sejarah dalam dua kertas yang berbeda. Yang biasa kita lihat dalam buku pelajaran, buku sejarah, buku biografi, koran, atau majalah, adalah potret untuk tulisan tangan Soekarno.
Apakah dua kertas itu tersimpan dalam album sejarah Indonesia? Kita pun penasaran dengan kemungkinan kertas-kertas itu hadir dalam upacara di Istana Kepresidenan bersama “bendera pusaka”. Yang tampak adalah Prabowo Subianto mencium bendera. Apakah ia pernah menyentuh kertas-kertas bersejarah (Proklamasi) dan mencium bau masa lalu?
Kita membayangkan tangan Soekarno yang berurusan dengan bolpoin dan kertas. Ia sedang menulis dalam bimbang bareng Mohammad Hatta. Tinta yang tidak segera berada di kertas. Yang dipikirkan adalah bahasa atau susunan kalimatnya. Apakah semua kalimat di kertas itu buatan Soekarno? Kita menduga ada usulan atau saran dari Mohammad Hatta meski peristiwa sejarah itu belum terang. Yang pasti itu tulisan tangan Soekarno. Yang masih membingungkan adalah kalimat-kalimat itu sepenuhnya dari Soekarno atau Hatta malah yang mengucapkan atau mendikte agar ditulis Soekarno?
Sejarah di Indonesia bermasalah dengan tangan, kertas, bolpoin, selain bahasa (Indonesia) dan ide-ide yang mendekam di kepala. Kita pun membayangkan cara duduk para tokoh dan meja yang digunakan dalam penulisan teks Proklamasi. Semua benda dalam peristiwa sejarah tidak semuanya selamat. Konon, saat pembacaan teks Proklamasi di serambi rumah, ada benda-benda yang hilang setelah sekian tahun ada usaha untuk mengumpulkan dalam museum dan mengisahkannya.
Apakah yang ada di tangan Prabowo Subianto itu kertas yang bersejarah atau kertas yang dihadirkan hasil dengan mengetik di komputer? Tangan yang memegang kertas itu mengabarkan kekuasaan. Yang terjadi di Istana Kepresidenan, Prabowo Subianto bersalaman dengan banyak tokoh. Ia pun membuat gerakan tangan sebagai tanda hormat. Di agenda Agustus, orang-orang pun mengingat Prabowo Subianto mendapat dua jempol dari Joko Widodo. Dugaan gerakan tangan itu sebagai pujian. Agustus adalah tangan-tangan dengan segala gerakan yang melulu mengesankan kekuasaan? Kita tentu wajib mengingat saat tangan Prabowo Subianto dalam posisi menghormati pengibaran bendera merah-putih.
Di buku berjudul Ragawidaya (1975), YB Manguwijaya menerangkan: “Tangan mengungkapkan pikiran dan perasaan-batin manusia sebagai dutanya yang paling aktif.” Apakah kemarin kita yang menonton di televisi (17 Agustus 2025) menyempatkan mencermati posisi dan gerakan tangan Presiden RI dan para tokoh penting yang disorot kamera? Kita mungkin melewatkan, belum berpikiran bahwa tangan termasuk bab penting dalam alur sejarah Indonesia.
YB Mangunwijaya saat menguraikan masalah tangan tidak menyinggung politik atau sejarah. Ia justru mengarahkannya ke perbuatan-perbuatan religius. Kita berimajinasi saat Ramadhan (1945), tangan-tangan Soekarno, Hatta, dan para tokoh pergerakan kebangsaan pun dalam ibadah atau posisi berdoa. Mereka menyadari tangan dalam ungkapan religius demi kemerdekaan. Yang jelas adegan penting 17 Agustus 1945 adalah tangan Soekarno memegang kertas dalam pembacaan. Tangan yang “bersenjata” kertas, bukan bedil. Peristiwa yang mengubah sejarah atas restu Tuhan.
Kita sementara membuat konklusi iseng dan sederhana: tangan-tangan menggerakkan sejarah Indonesia. Selanjutnya, kita berpikiran kertas. Pada 17 Agustus 1945, kertas itu hadir dan penting meski berisi sedikit tulisan. Pada masa yang berbeda, 1998, kertas pun penting. Kertas di tangan Soeharto, yang mengundurkan diri setelah “badai” yang sulit reda. Kita masih bisa mencatat kertas-kertas yang bersejarah yang ada di tangan penguasa atau pejabat dalam peristiwa-peristiwa penting. Apakah kertas-kertas itu berhasil disimpan untuk penulisan sejarah dan jejak yang fana?
“Jangan sembarangan memperlakukan kertas,” pesan Jakob Sumardjo (2011) dalam buku berjudul Jagat Kertas yang dieditori Setiawan Sabana dan Hawe Setiawan. Ia melanjutkan penjelasan: “Kertas memberikan realitas kesadaran pada manusia. Realitas kesadaran yang dibawanya adalah ideal-rasional. Kertas dalam buku, koran, pamflet, maklumat, surat keputusan, adalah realitas kesadaran rasional.” Kita tidak mudah memahaminya tapi bisa membayangkan bahwa kertas-kertas sangat penting dalam pembentukan negara. Kertas itu turut dalam misi besar kemerdekaan dan raihan kedaulatan Indonesia. Namun, Jakob Sumardjo tidak membahas kertas dalam penulisan dan pembacaan Proklamasi.
Upacara peringatan Hari Kemerdekaan telah berlalu tapi kita kepikiran tangan dan kertas. Kita dibingungkan penasaran-penasaran yang tanpa jawaban atau belum mendapat jawaban yang benar. Maka, usaha mengingat Indonesia dengan tangan dan kertas adalah keisengan yang tidak harus mendapat perhatian presiden dan menteri, yang sedang sibuk membuat capaian-capaian selama satu tahun bekerja agar mendapat tepuk tangan dan pujian berupa dua jempol.
*Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.