DI ATAS laut yang dulu jernih dan pesisir yang menyimpan napas kampung, kini berlabu tongkang pengangkut ore nikel, reklamasi jetty, terminal khusus tambang. Serta cerobong smelter yang menjulang di Obi, Weda, dan Halmahera Timur. Maluku Utara, yang mestinya menjadi mozaik budaya dan ekologi timur Nusantara, justru berubah menjadi halaman depan hilirisasi yang memunggungi hulu nilai-nilai.

Pemerintah menyebut ini bagian dari strategi hilirisasi untuk mengejar nilai tambah ekonomi. Namun siapa yang menghitung nilai-nilai budaya yang tersingkir? Siapa yang menimbang pengetahuan lokal, bahasa, dan ritus adat yang selama ini menjaga ruang hidup tanpa harus menaklukkannya? Hilirisasi ini tumbuh dari tanah yang tak pernah dibaca sebagai teks kebudayaan.

Sejak satu dekade terakhir, wilayah seperti Halmahera Selatan, Halmahera Tengah dan Halmahera Timur disulap menjadi pusat industri nikel. Izin tambang menyebar dari laut ke darat. Namun dalam setiap proses perizinan, suara nelayan, petani, pemuka adat, bahkan suara perempuan kampung, nyaris tak terdengar. Di Wasile, sawah-sawah berlahan menguning tapi bukan karena panen, tapi tanah dan air yang berubah akibat aktivitas tambang. Di Maba, Kali Sangaji—sungai yang sejak lama jadi sumber air dan cerita rakyat—kini terancam sedimentasi dan pencemaran. Begitu pula Kali Sagea dan sekitarnya.

Baca Juga:Sang Nabi

Ironisnya, ketika warga mempertanyakan, memprotes justru dijawab dengan dikriminalisasi. Sebelas warga Maba Sangaji kini ditahan dan sedang persidangan. Tuduhannya: mereka menghalangi alat berat yang masuk ke tanah yang mereka warisi turun-temurun. Negara, yang semestinya menjadi pelindung hak hidup dan budaya, malah membungkam lewat pasal-pasal karet.

Bahaya hilirisasi tanpa keseimbangan budaya dan etika bukan lagi sekadar kekhawatiran. Kita tahu, penelitian terbaru Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako menunjukkan adanya pencemaran logam berat—merkuri dan arsenik—di Teluk Weda. Hampir setengah dari sampel darah warga Lelilef dan Gemaf mengandung merkuri, dan sepertiganya melebihi batas aman arsenik. Bahkan ikan-ikan hasil tangkapan tradisional menunjukkan kandungan logam berat yang masuk ke rantai konsumsi rumah tangga. Kita sedang menyaksikan pembangunan yang bukan hanya merusak tanah, tetapi juga meracuni tubuh.

Padahal Indonesia telah memiliki rambu yang terang: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam pasal-pasal awalnya, negara berjanji melindungi adat istiadat, pengetahuan tradisional, ritus, serta ruang hidup masyarakat. Tapi janji itu tak berjejak dalam kebijakan. Di lapangan, alat berat melaju lebih cepat dari musyawarah adat.

Maluku Utara memiliki sistem nilai yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari. Di pesisir-pesisir Halmahera, ada larangan-larangan adat untuk menyentuh wilayah tertentu—karena dianggap sakral atau sebagai tempat berkembang biak biota laut. Ada upacara turun laut, ritual membuka hutan, hingga pantang adat tentang batu, pohon, dan gua tertentu. Itu semua adalah teknologi budaya yang menjamin keberlanjutan ekologis—jauh sebelum kata “green industry” menjadi jargon negara.

Baca Juga:Gas Air Mata

Namun dalam praktik pertambangan, tak ada kewajiban kajian sosial-budaya sebagaimana kajian lingkungan (AMDAL). Tak ada peta wilayah adat yang mengikat perizinan. Bahkan koordinasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan nyaris tak terdengar. UU Pemajuan Kebudayaan seperti kitab sunyi yang tak pernah dibacakan di ruang-ruang rapat investasi.

Jika negara membanggakan hilirisasi sebagai masa depan, maka masa depan itu sedang dibangun dengan memunggungi kebudayaan sendiri. Yang digali bukan hanya nikel, tapi juga sejarah, bahasa, dan ingatan kolektif. Di Maba, anak-anak tak lagi main air di sungai, karena airnya tak lagi jernih. Di Weda, pantai telah ditimbun jadi dermaga logistik. Di Obi, tempat adat kini berganti jadi pos keamanan perusahaan.

Pemajuan Kebudayaan Bukan Ornamen

Jika pemerintah sungguh ingin membangun masa depan dari kekayaan dalam negeri, maka pembangunan itu harus dimulai dengan membaca ulang tanah sebagai teks budaya. Pemajuan kebudayaan tak bisa hanya jadi dekorasi seremonial, atau atraksi pada peringatan hari nasional. Ia harus hadir di meja perencanaan: sebagai syarat utama, bukan catatan kaki.

Kajian sosial-budaya mesti menjadi dokumen wajib sebelum izin tambang diterbitkan—setara pentingnya dengan AMDAL. Peta wilayah adat, ritus sakral, dan sistem ruang tradisional harus menjadi fondasi investasi, bukan sekadar catatan lisan yang bisa diabaikan.

Lebih jauh, koordinasi lintas kementerian sangat dibutuhkan. Kementerian ESDM dan BUMN tidak bisa berjalan sendiri. Mereka harus berjejaring dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Setiap keputusan industri mesti diuji dalam forum kebudayaan, agar yang dikorbankan bukan nilai-nilai dasar bangsa.

Etis, Kultural, dan Manusiawi

Hilirisasi di Maluku Utara jangan hanya dilihat sebagai jalan ekonomi. Ia juga ujian etika. Apakah pembangunan kita manusiawi? Apakah ia menghormati yang kecil, yang lokal, yang tidak bersuara?

Tambang bisa menghasilkan logam, tapi hanya kebudayaan yang memberi arah. Jika kita terus membiarkan wilayah adat dibaca sebagai ruang kosong dalam peta investasi, maka yang kita gali bukan hanya tanah, tapi juga memori kolektif masyarakat. Apakah kita rela?

Kini saatnya pembangunan melihat ke dalam—menemukan nilai, bukan sekadar volume. Karena bangsa yang mengabaikan kebudayaannya, bukan hanya kehilangan masa lalu, tapi juga membutakan masa depannya.[]

Said Marsaoly adalah Pegiat Salawaku Institute, bermukim di Teluk Buli, Halmahera Timur