KITA yang membaca novel kadang belajar hal-hal besar. Pembaca biasa menyebutnya “hikmah” atau “pesan-pesan”. Yang membaca novel sampai halaman terakhir mengakunya tidak ingin sia-sia. Jadi, pembaca yang berhasil mendapatkan “hikmah” menebus lelah, waktu, dan perhatian yang sudah diberikan untuk novel. Apakah “hikmah” itu berguna sampai akhir hayat?
Yang pernah membaca novel tipis berjudul Balada Becak (1985) gubahan YB Mangnnwijaya mendapatkan “hikmah” sedikit atau banyak. Jawabannya macam-macam. Kita mengutip dari novel, yang belum tentu benar-benar “hikmah” tapi menimbulkan pemikiran yang cukup serius.

YB Manguwijaya mengisahkan: “Sampailah rombongan gori di restoran gudeg Bu Dul, Yusuf dan Riri beristirahat duduk berdampingan di kaki lima. Diam. Harus omong apa, sesudah habis nafas ketawa bila teringat Mas Polantas yang sial tadi. Datang penjual es puter. Riri tanpa pikir panjang memanggilnya. Selain memang suka sekai es, ia ingin mentraktir Yusuf. Yusuf tidak mau, malu. Tetapi Riri toh memesan dua gelas.”
Para tokoh berada di pinggir jalan. Riri membeli es tanpa merek.

Pedagang keliling itu tidak mengiklankan es di radio atau surat kabar. Yang terjadi adalah setiap hari berkeliling menjual es putar, berharap laris dan mendapatkan untung, yang dapat digunakan dalam beragam kebutuhan keluarga.

Riri mengaku “tanpa pikir panjang”. Artinya, ia tidak harus menggunakan ribuan detik atau puluhan menit untuk membuat keputusan sebagai pembeli es putar. Ia ingin es putar, tidak perlu diganggu pertimbangan-pertimbangan yang membingungkan dan menyulitkan. Membeli adalah peristiwa yang gampang. Yang terpenting, Riri dan Yusuf segera menikmati es puter. Kenikmatannya menjadi sempurna dengan datangnya hiburan. Dua pengamen memainkan gitar dan pamer suaranya yang merdu.

Kita tidak perlu menjadi tokoh dalam novel bila ingin berperan sebagai pembeli minuman, makanan, baju, mobil, dan lain-lain. Kita mengutip dari novel tipis hanya untuk mengetahui mudahnya membuat keputusan membeli es putar. Situasi berbeda pasti dialami tokoh saat membeli baju atau mobil. Harga es putar tidak semahal baju dan mobil. Mengapa terjadi perbedaan dalam kecepatan membuat keputusan dalam membeli es putar dan baju? Tokoh dalam novel tidak menjawab.

Selingan membaca novel-novel adalah membuka halaman-halaman buku yang berjudul Buy-Ology: Rahasia di Balik Keputusan Membeli (2011) susunan Martin Lindstrom. Buku yang aneh. Namun, kita yang membaca akan mendapat seribu “hikmah”, yang membuat kita malu, menyesal, puas, atau bingung setelah memiliki pengalaman-pengalaman sebagai pembeli.

Buku yang sangat penting dalam tahun-tahun sulit di Indonesia. Konon, daya beli sedang menurun akibat kebijakan-kebijakan rezim Prabowo-Gibran. Orang-orang mengku tidak punya uang atau hanya memiliki sedikit uang. Akibatnya, mereka tidak mudah menjadi pembeli. Bila ada uang, pertimbangan-pertimbangan serius diperlukan agar membeli tidak memunculkan sedih, sia-sia, dan salah.

Kita perlahan paham saat melihat banyak toko dan warung tutup. Ada yang tetap buka tapi sepi. Indonesia sedang tidak dalam “pesta indah”. Prihatin lebih dipentingkan ketimbang hidup menjadi makin tak keruan. Yang aneh adalah keputusan untuk membeli sering sulit atau gagal. Banyak hal yang wajib dipikirkan sebelum berhasil menjadi pembeli. Persoalan terbesar adalah anggaran selalu terbatas. Hasil yang diperoleh dari kerja kadang habisnya cepat oleh pelbagai kebutuhan, termasuk meladeni pajak yang diserukan oleh pemerintah.

Martin Lindstrom memasalahkan orang-orang di Amerika Serikat dan Eropa meski menyinggung yang terjadi di Asia, Afrika, dan Australia. Ia melakukan pengamatan atas kemunculan orang sebagai pembeli. Pembahasaannya tidak sederhana. Kita sengaja membacanya saat Indonesia bermasalah dengan “pembeli”.

“Mari, kita akui bahwa kita semua adalah konsumen,” kebenaran awal yang disampaikan Martin Lindstrom. Yang membuat orang bergairah dan ketagihan menjadi pembeli dipicu merek. Pemujaan merek itu terjadi melalui iklan-iklan yang berdatangan. Orang mudah berkeputusan menjadi pembeli setelah mendapat “kebenaran”, “pengesahan”, dan “panggilan”. Maka, peran sebagai pembeli memerlukan ilmu bujukan dan “keajaiban-keajaiban” yang dibuat agar kesetiaan terbuktikan sampai akhir zaman.

Yang diungkapkan Martin Lindstrom: “Pada saat mencapai usia 66 tahun, sebagian besar kita telah melihat sekitar 2 juta iklan di televisi. Bila dirangkum sama dengan menonton iklan selama 8 jam per hari, 7 hari seminggu, selama enam tahun terus-menerus.” Ia tidak memberi ketakutan atau mengajak kita sangat menyesal. Martin Lingstrim tidak mengamati situasi mutakhir. Iklan-iklan tidak lagi berkuasa di televisi tapi menyerbu melalui gawai. Kita setiap detik dibujuk untuk menjadi pembeli. Kita adalah konsumen sejati dan abadi bagi ribuan atau jutaan iklan.

Pada saat kita belajar tentang pembeli dan memikirkan nestapa Indonesia, tiba-tiba muncul berita yang bikin sebal. Sosok dalam kabinet Joko Widodo berurusan dengan KPK. Kita dibikin kaget mengetahui koleksi mobil dan sepeda motor. Sosok yang ditangkap KPK itu memiliki selera yang tinggi. Ia pasti berpikir sangat serius untuk membeli mobil dan sepeda motor yang merek-mereknya terkenal. Harganya dijamin sangat mahal.

Namun, sosok itu berhasil menjadi pembeli yang menimbulkan kebanggaan dan kepuasan. Kita melihat “pameran” mobil di sepada motor di depan kantor KPK. Pembeli yang bergelimang uang itu bakal mendapat pertanyaan-pertanyaan. Uang untuk membeli mobil dan sepeda motor diperoleh dari mana? Kapan membelinya? Kita yang percaya daya beli di Indonesia sedang turun mendapat “hiburan” yang menyakitkan.

Jika ingin membuka masa lalau “para pembeli” yang sakti di Indonesia, bukalah buku berjudul Para Superkaya Indonesia: Sebuah Dokmentasi Gaya Hidup (1999) yang disusun Veven SP Wardhana dan Herry Barus. Beberapa orang tidak pernah kehabisan uang untuk membeli apa-apa yang mewah dan berkelas internasional. Mereka menjadi peraih kesuksesan selama Orde Baru dengan menunjukkan rumah, mobil, pakaian, jam tangan, dan lain-lain.

Yang kita baca “para superkaya”, bukan “para supermiskin”. Kini, Indonesia sedang dibingungkan pernyataan presiden dan pejabat bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan. Apakah yang masih miskin masih mampu membeli makanan dan minuman? Apakah mudah memutuskan menjadi pembeli es putar seperti dalam novel Balada Becak yang ditulis YB Mangunwijaya?

Hari demi hari, kita mulai terbiasa untuk menunda atau membatalkan predikat sebagai pembeli. Kita terlalu banyak pikiran dan keluhan sehingga sulit menjadi pembeli. Sedih dan malu menimpa kita yang gagal membeli tapi melihat orang-orang di barisan kaya pamer beli “apa-apa” dan dipamerkan di media sosial. Kita memilih tabah sambil berdoa agar berhasil menjadi pembeli meski cuma sebungkus kerupuk atau dua tempe goreng.


*Kabut merupakan nama pena dari seorang pengarsip, esais, dan kritikus sastra Indonesia